Penjelasan Ilmiah Kabut Misterius Saat Heli Basarnas Jatuh

Lokasi jatuhnya helikopter Basarnas di Gunung Butak Temanggung
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA.co.id – Penyebab kecelakaan maut helikopter Basarnas di kawasan Gunung Butak Temanggung Jawa Tengah, masih misterius. Dari kesaksian sejumlah warga, kabut tebal di wilayah gunung sangat pekat saat helikopter Dauphin HR 3602 itu melintas hingga menabrak tebing.

Helikopter Militer Kenya Jatuh, Jenderal Ogolla Menjadi Korban

Menurut Kepala Stasiun Meteorologi Kelas II Ahmad Yani Semarang, Hidayatul Mukhtar, saat kejadian kecelakaan maut heli itu terjadi, cuaca di langit Gunung Butak Temanggung, terpantau berawan namun clear dan aman untuk aktivitas penerbangan.

"Pukul 16.00 sampai 17.00 kondisi cuaca baik di Bandara Ahmad Yani baik. Lalu di Gunung Sindoro Temanggung memang clear. Begitupun rute Gunung Sindoro (lokasi kejadian)," kata Hidayat saat tinjauan Komisi V DPR di kantor Basarnas Semarang, Selasa, 4 Juli 2017.

Helikopter Perusahaan Tambang Nikel Ditemukan Jatuh di Hutan Halmahera, 3 Orang Tewas

Dari pantauan citra satelit, kecepatan angin saat itu berada pada kisaran 9-15 kilometer per jam menuju arah utara. Dengan kondisi itu, maka cuaca masih tergolong layak untuk penerbangan dan jarang pandang juga normal.

"Keadaan cuaca tidak ada masalah untuk penerbangan, terutama dari bandara hingga rute penerbangan," ujarnya.

Helikopter TNI AD Jatuh di Kebun Teh Ciwidey, Brigjen Hamim Pastikan Tak Ada Korban Jiwa

Namun demikian, pihaknya mengakui belum bisa mendeteksi jika ada kabut yang datang tiba-tiba di daerah pegunungan. Ia menyebut gejala kabut yang tiba-tiba muncul itu kerap disebut sebagai gerakan kabut up and down. Biasanya kabut semacam ini  muncul dari dasar lembah.

Jika di wilayah pegunungan, seperti Gunung Butak, kabut itu biasanya muncul setelah pukul 15.00 atau selepas Salat Ashar. Selain gunung itu, masih ada empat gunung yang bisa saja menyebabkan adanya gejala-gejala alam yang tidak terdeteksi seperti ini.

"Nah itu kita tidak bisa memantau. Meski kami tidak dalam posisi menyimpulkan (penyebab kecelakaan)," jelas Mukhtar.

Selain itu, gejala kemunculan kabut up and down itu tak bisa dipantau radar BMKG. Sebab, radar  hanya mampu memantau kandungan air, sehingga kalau ada kabut yang mendadak muncul dan hilang tidak bisa terdeteksi. "Perlu pantauan langsung dari petugas yang ada di lapangan untuk gejala semacam itu," bebernya.

Tunggu KNKT

Sementara General Manager AirNav Indonesia Cabang Semarang, Kristanto, menambahkan saat helikopter Basarnas itu terbang untuk memantau kawasan Dieng, pihaknya telah memastikan wilayah yang dituju tidak berbahaya bagi penerbangan.

"Kalau ganggu kita block air space. Tapi ternyata tidak mengganggu untuk penerbangan, " jelasnya.

Ia menyebut, rencananya helikopter dengan depalan penumpang itu tiba di Dieng pukul 16.20 WIB namun ternyata lost contact terjadi 16.17 WIB. "Setelah lost contact, kami berharap ada contact terakhir  melaporkan posisi. Jam 20.00 WIB lewat tidak ada kabar. Kami coba panggil," ujarnya.

Ketua Komisi V DPR, Fary Djemi Francis, usai mendengarkan paparan itu mengatakan, dari kesimpulan sementara tidak ada permasalahan khusus terkait helikopter, cuaca dan personil saat kecelakaan itu terjadi. Sehingga, publik harus menunggu hasil investigasi yang dilakukan Komiter Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

"Ini kan helinya oke, pilot oke, cuaca oke, itu yang kita tangkap hari ini. Makanya kita tunggu hasil dari KNKT," kata Fary.

DPR dari Fraksi Gerindra itu pun mengkritik terbatasnya anggaran alat pemantau cuaca BMKG oleh pemerintah. Menurutnya, instrumen BMKG sangat penting agar peristiwa kecelakaan penerbangan serupa tidak lagi terjadi.

"Makanya kami sangat keberatan saat anggaran pemeliharaan instrumen BMKG dipotong 40 persen. Sebab akibatnya fatal. Hal-hal yang terkait pemantauan cuaca tidak berjalan dengan maksimal," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya