- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengatakan pasal penghinaan presiden sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga kini tak perlu dimasukkan lagi dalam RUU KUHP.
"Enggak perlu dimasukan lagi, manusia itu bukan simbol negara. Simbol negara itu burung garuda, bendera merah putih. Itu yang enggak boleh dihina," kata Fahri di gedung DPR, Jakarta, Jumat 2 Februari 2018.
Ia menambahkan presiden atau manusia justru merupakan objek kritik. Kalaupun ada yang menghina presiden maka bisa melapor secara pribadi.
"Saya secara pribadi dihina, jangan, dia jadi lambang negara, enggak bisa gitu dong," kata Fahri.
Ia menilai tak boleh lagi ada pensakralan terhadap presiden. Hal itu juga dinilai tak lagi diperlukan. Lagipula pasal tersebut juga sudah tak ada lagi."Jangan menyakralkan diri lagilah," kata Fahri.
Sebelumnya, dalam draf revisi KUHP terdapat usulan pemidanaan terhadap presiden atau wakil presiden. Dalam Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, pada Bagian Kedua Pasal 263 ayat (1) berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu ayat (2) Pasal 263 berbunyi Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri .
Kemudian Pasal 264 berbunyi Setiap orang yang menyiarkan, mempertujukan, atau menempelkan tuliasan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluasakan dengan sarana tekonologi informasi, yang berisi penghinaan terhahap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar pasal penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV
Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal penghinaan presiden ini pada 2006. Pemohon gugatan ini seorang advokat Eggi Sudjana dan seorang wiraswasta Pandapotan Lubis. Mereka menggugat Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP. MK pun menghapus semua pasal ini.
Meski begitu, dari sembilan hakim konstitusi terdapat empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda.