Alasan DPR Munculkan Pasal Pengkritik Dijerat Pidana

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR. Ruangan kosong melompong.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Pasal ancaman pidana bagi pengkritik DPR dalam Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi sorotan publik. Menuai kritikan dan hujatan, Ketua Badan Legislasi, Supratman Andi Agtas memberikan penjelasan.

DPR Sahkan Revisi UU MD3 Soal Penambahan Pimpinan MPR

Dia menekankan, pasal ini dimunculkan untuk menjaga kehormatan lembaga ataupun anggota DPR.

"Sebenarnya itu pasal biasa saja. Itu kan kewenangan sama hal dengan kewenangan Komisi III DPR untuk mewakili DPR di Mahkamah Konstitusi kalau ada UU yang digugat," kata Supratman saat dihubungi VIVA, Selasa, 13 Februari 2018.

DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU MD3

Dia menambahkan, fungsi dan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD hanya bertindak mewakili DPR keluar. Tak boleh melebihi dari fungsi itu. Terkait mekanisme dan hal yang dianggap merendahkan kehormatan DPR, akan diatur lebih lanjut dalam tata tertib DPR.

"Tapi intinya, kehormatan itu adalah sesuatu yang harus kita jaga bersama seperti halnya kehormatan pribadi. Jadi itu harus tetap dijaga. Kalau terjadi kita ada mekanismenya bahwa yang melakukan itu adalah MKD," kata politikus Gerindra tersebut.

Fahri Hamzah: Pimpinan MPR Ditambah Sinyal Rekonsiliasi Jokowi

Kemudian, ia memastikan para pengkritik DPR tak akan dilaporkan ke polisi atas dasar pasal ini. Sebab DPR merupakan tukang kritik sehingga tak boleh menjadi antikritik.

Bagi dia, bagaimana DPR mau marah kalau faktanya secara kinerja memang rendah produktivitasnya dan 'melempem'. Namun, ada tafsir terkait kritik ini. Bila DPR disamakan dengan suatu yang merendahkan maka akan mengambil langkah hukum.

"Kita tak boleh menyamakan, memberi adagium yang kemudian persepsikan DPR sama dengan sesuatu yang sangat merendahkan. Dan itu mencederai kehormatan dewan sebagai lembaga dan anggota DPR secara pribadi, itu yang akan dilakukan," jelas Supratman.

Massa HTI ikut demo di depan DPR

Foto: Ilustrasi aksi demo di depan DPR soal Perppu Ormas.

Kemudian, ia menambahkan, ada pos pengaduan yang diresmikan Ketua DPR Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu. Artinya, dengan kebijakan ini DPR mau menerima masukan dan pengaduan. Namun, sekali lagi, ia mengingatkan tak boleh memberikan ucapan atau tindakan yang bisa merongrong kewibawaan DPR.

"Mungkin ngamuk dalam sidang, mengeluarkan ucapan-ucapan yang tak senonoh, membandingkan DPR dengan perumpamaan yang tak sepantasnya," kata Supratman
    
14 substansi revisi UU MD3

Sejumlah substansi perubahan dalam revisi UU MD3. Selain kesepakatan untuk penambahan pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penambahan wakil pimpinan MKD. Ada beberapa substansi pasal lain seperti pemanggilan paksa terhadap pejabat negara dengan melibatkan kepolisian.

"Kedua, perumusan kewenangan DPR dalam RUU yang berasal dari presiden dan DPR maupun diajukan oleh DPD. Ketiga, penambahan rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian," kata Supratman dalam paripurna di gedung DPR, Jakarta, Senin 12 Februari 2018.

Ilustrasi Pimpinan DPR saat memulai sidang paripurna pembentukan pansus hak angket KPK.

Foto: Ilustrasi Kursi pimpinan DPR bertambah 1 untuk jatah PDIP.

Keempat, penambahan rumusan penggunaan hak interpelasi hak angket, hak mengatakan pendapat kepada pejabat negara. Kelima, menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.

"Keenam, penambahan rumusan tantang kewenangan dalam Baleg dalam penyusunan RUU tentang pembuatan laporan kinerja inventarisasi masalah di bidang hukum. Ketujuh, perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD," kata Supratman.

Kemudian, poin kedelapan, penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat I. Lalu, kesembilan, penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI asing secara paksa dalam hal tak memenuhi pemanggilan panitia angket.

"Sepuluh, penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. Sebelas, penambahan rumusan wewenang tugas DPD dalam memantau dan evaluasi raperda dan perda," kata Supratman.

Adapun substansi lainnya penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran. Ketiga belas soal penambahan rumusan alat kelengkapan dewan.

"Terakhir, penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR, DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme penetapan pimpinan MPR, DPR dan Kelengkapan Dewan setelah Pemilu 2019," kata Supratman. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya