Politikus PDIP: Oposisi di Indonesia Sulit Ikuti Malaysia

Anggota Komisi Luar Negeri DPR dari PDIP, Charles Honoris.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Lilis Khalisotussurur

VIVA - Anggota Komisi Luar Negeri DPR, Charles Honoris, menanggapi kemenangan oposisi Malaysia yang dipimpin Mahathir Mohammad atas calon incumbent Najib Razak. Menurutnya, insentif elektoral cenderung didapat kelompok oposisi ketika partai penguasa tidak becus menjalankan pemerintahan.

Rektor Pakuan: Klaim Menang Pilpres 2019 Agar Disikapi Hati-hati

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut menilai kemenangan Mahathir itu adalah dampak evaluasi kinerja pemerintahan Najib Razak yang kurang memuaskan oleh mayoritas masyarakat Negeri Jiran. Apalagi, tokoh yang memerintah sejak 2009 itu diduga terlibat skandal korupsi yang merugikan negara hingga triliunan.

"Rumus politik rasional selalu begitu. Semakin baik kinerja pemerintah, oposisi semakin tidak laku. Sebaliknya, semakin pemerintah tidak becus dan korup, oposisi semakin mendapat angin surga untuk menumbangkannya," kata Charles kepada wartawan, Jumat, 11 Mei 2018.

PKB Mengadu ke KPU Lamongan

Charles mengakui rumus tersebut bisa dibawa ke Indonesia. Namun, dengan melihat kepuasaan rakyat yang semakin tinggi terhadap kinerja Presiden Jokowi, seperti ditunjukkan sejumlah hasil survei, kejadian di Malaysia sulit terjadi di Indonesia. Misalnya, survei Litbang Kompas dalam rangka 3,5 tahun Jokowi-JK pada awal April lalu menunjukkan 72,2 persen rakyat puas dengan kinerja pemerintahan ini.

"Bayangkan, pembangunan infrastruktur masih berjalan saja tingkat kepuasaan rakyat sudah begitu tinggi, apalagi kalau rakyat sudah merasakan dampaknya nanti?" kata Charles.

Duh, Kantor Jurdil2019.org Diintai Orang Tak Dikenal

Oleh karena itu, Charles meyakini pernyataan sejumlah politikus oposisi dalam negeri bahwa peristiwa politik di Malaysia akan 'merembet' ke Indonesia, jelas sulit terjadi selama kinerja pemerintahan Jokowi berjalan baik.

"Politik itu tidak bekerja di ruang hampa. Masak apa yang terjadi di negara tetangga disebut bisa merembet begitu saja, tanpa melihat faktor-faktor yang terjadi di belakangnya, seperti kinerja pemerintahan, efektivitas oposisi, dan sebagainya," kata Charles.

Charles mengatakan, oposisi terancam tidak laku manakala kinerja pemerintahan Jokowi-JK semakin memuaskan rakyat. Apalagi jika kritik-kritik yang dilancarkan oposisi tidak substantif dan tidak rasional. Salah satu kritik yang tidak rasional, ujar Charles, adalah politisasi isu SARA, seperti yang kerap diangkat UMNO dan PM Najib ketika berkampanye.

"Politisasi isu SARA terbukti tidak memiliki tempat dalam perpolitikan Malaysia dan terbukti tidak efektif mendulang suara, karena masyarakat Malaysia sudah cerdas," ujarnya.

Charles yakin politisasi isu SARA juga tidak akan terjadi dan tidak akan berpengaruh dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 di Indonesia.

"Karena publik Indonesia semakin cerdas, dan sudah paham efek destruktif politisasi isu SARA yang pernah terjadi," ujarnya.

 Charles menambahkan, PDI Perjuangan bisa memenangkan Pemilu 2014 yang lalu juga karena mendapat kepercayaan rakyat setelah pemerintahan sebelumnya berjalan tidak sesuai harapan. Apalagi, sejumlah petinggi partai penguasa sebelumnya banyak yang terjerat korupsi.

"Di samping itu, PDI Perjuangan sebagai oposisi semakin efektif dalam melakukan komunikasi politik kepada rakyat dan selalu menggunakan cara-cara beradab dalam merebut kekuasaan," ujarnya.

"Jadi, kemenangan PDI Perjuangan di 2014 adalah buah dari kerja politik ideologis selama 10 tahun, bukan hasil menunggu tanda-tanda zaman atau hasil rembetan," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya