Cawapres Jokowi Terkuat dari Politikus, Agamis atau Militer

Presiden Jokowi (viva.co.id)
Sumber :
  • VIVA/Yunisa Herawati

VIVA – Faktor elektabilitas dinilai bisa menjadi hal yang bukan utama bagi Joko Widodo menentukan pendampingnya sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2019.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Temui Presiden Jokowi di Istana

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny JA membuat metode baru dalam menentukan calon wakil presiden melalui penilaian para pakar atau ahli di berbagai bidang.

Hasilnya, nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Puan Maharani menjadi favorit. 

Kata Istana soal Kabar Jokowi Bakal Anugerahkan Satyalencana ke Gibran dan Bobby

"Jika latar belakangnya partai politik, Airlangga Hartarto dari Golkar di ranking satu. Ia diikuti oleh Budi Gunawan dan Puan Maharani dari PDIP," kata peneliti LSI Adjie Alfaraby di kantornya, Jalan Pemuda Raya, Jakarta, Senin petang, 14 Mei 2018. 

Adjie menyampaikan, metode cawapres potensial ini memberikan keleluasaan tim ahli yang terdiri atas 30 orang menilai cawapres potensial. 

Budi Gunadi Klaim Berhasil Jadi Menkes Karena Jokowi Tidak Pernah Masuk Rumah Sakit

LSI mengklaim melibatkan kalangan akademisi, peneliti, dan praktisi media dengan metode expert judgment. Setiap orang menyampaikan penilaian dari angka 1-10 dari setiap indikator mulai dari elektabilitas, dukungan partai, kapasitas di pemerintahan, akseptabilitas, merangkul kelompok penting, dan logistik. 

"Dari segi elektabilitas Airlangga 2, namun dukungan partai dia mendapat penilaian 8 serta juga menjabat menteri perindustrian," kata dia. 

Sementara itu, penilaian untuk cawapres Jokowi juga melirik tokoh-tokoh dari kalangan militer. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo masuk di dalamnya.

"Sementara tiga nama cawapres potensial dari unsur Islam berturut-turut adalah TGB atau Zainul Majdi, Muhaimin Iskandar, dan Romahurmuziy," ujarnya. 

Adjie menuturkan, elektabilitas bukan semata penentu bagi calon presiden memilih pendampingnya. Ia mencontohkan, pada Pemilu 2009 yang mana saat itu Susilo Bambang Yudhoyono sebagai petahana justru memilih Boediono yang tak begitu dikenal dibandingkan tokoh lain. 

"Namun (Boediono) dipilih oleh SBY sebagai cawapres. Hal ini membuktikan bahwa elektabilitas tak selamanya menjadi indikator utama," kata dia. 

Dalam survei ini, LSI menyebut responden yang terdiri atas 1.200 orang masih menempatkan Jokowi dengan elektabilitas 46 persen. Penelitian digelar pada 28 April hingga 5 Mei 2018 di 34 provinsi dengan margin of error sekitar 2,9 persen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya