Kemenkuham: PKPU Eks Napi Korupsi Timbulkan Keresahan

Gedung KPU Pusat.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan tak akan melanjutkan Peraturan KPU menjadi undang-undang, mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi. Sebab PKPU tersebut, materinya dianggap bertentangan dengan undang-undang yang ada, serta aturan yang ada di atasnya.

Tolak Ada Napi Koruptor Jadi Bacaleg, Ketua DPW Perindo DIY Pilih Mundur

Selain itu, materi PKPU ini diklaim telah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi.

"Sehingga bila diundangkan dikhawatirkan menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat," kata Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham Ajub Suratman dalam keterangannya diterima VIVA, Sabtu, 23 Juni 2017.

Eks Koruptor Boleh Nyaleg, KPU Diminta Dorong Revisi UU Pemilu

Pernyataan Ajub sekaligus mengklarifikasi pendapat Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Ajub menegaskan, bahwa PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif tersebut bertentangan dengan konstitusi yang mengatur hak asasi, yakni hak memilih dan dipilih.

Hal itu dikarenakan menunjuk Pasal 8 Undang-Undang No 12 tahun 2011 yang menegaskan bahwa Peraturan KPU mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Zumi Zola Ajukan PK, KPK Singgung Keseriusan MA Berantas Korupsi

"Sementara mantan napi korupsi tidak diperintahkan berdasarkan UU Pemilu, dan juga bukan diatur melalui Peraturan KPU karena bukan merupakan kewenangan KPU," kata Ajub.

Ajub menambahkan, pendelegasian atau yang diperintahkan untuk diberikan pengaturan kepada KPU didasarkan dalam Pasal 75 ayat (4), adalah peraturan KPU yang substansi atau materi muatannya berkaitan dengan pelaksanaan tahapan pemilu.

Sedangkan larangan bagi mantan narapidana koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif merupakan materi yang substansinya berhubungan dengan Hak Asasi Manusia dan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 merupakan materi muatan undang-undang, bukan materi muatan peraturan Badan atau Peraturan Lembaga, termasuk peraturan KPU.

Tidak hanya itu, menurut Ajub, pencabutan hak asasi manusia atau hak politik seseorang hanya dapat dilakukan melalui UU atau melalui putusan atau penetapan pengadilan atau putusan hakim, yang sejalan dengan asas hukum res judicata pro veritate habetur haruslah dianggap bahwa putusan hakim selalu dianggap benar, di mana putusan tersebut dijatuhkan dengan irah-irah (ruh putusan) "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Ajub juga mendasarkan keyakinannya itu sejalan dengan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-VIII/2015.

Menurutnya, dari semua putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa ketentuan yang mempersyaratkan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Lebih lanjut, meski posisi KPU sebagai lembaga terhormat, kapasitasnya terbatas pada pembuatan peraturan teknis dan tidak bisa merambah pada norma hukum yang bukan menjadi kewenangannya. Juga di sisi lain KPU tidak bisa mengelak dari kewajiban mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi.

"Jadi, kewenangan KPU itu membuat peraturan teknis pelaksanaan pemilu, bukan norma hukum yang menjadi subtansi materi pemilu," kata Ajub.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya