Saiful Mujani: MK Tak Berwenang Nilai Konstitusi

Ilustrasi Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA - Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting atau SMRC, Saiful Mujani, turut mengkritisi langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Partai Perindo di Mahkamah Konstitusi.

JK Sebut Penundaan Pemilu Langgar Konstitusi

Partai pimpinan Hary Tanoesoedibjo itu melakukan permohonan pengujian penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Gugatan Pasal 169 huruf n ini adalah terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden. Di mana menjadi perdebatan, terutama frasa 'belum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama'.

Kata Jusuf Kalla Soal Kabar Cak Imin-Anies Masuk Bursa Pilpres 2024

Saiful mengakui, MK berwenang meninjau undang-undang dan aturan-aturan di bawah konstitusi. Kriteria penilainnya adalah konstitusi itu sendiri.

"Karena itu, MK tak berwenang menilai konstitusi. Konstitusi secara jelas mengatakan presiden dan wakil presiden hanya boleh dijabat maksimal dua kali. Laksanakan saja," kata Saiful, Rabu 25 Juli 2018.

Saat Jusuf Kalla Cerita ke Gus Miftah Tentang Kisah Inspiratifnya

Kalau MK membolehkan presiden dan wapres menjabat lebih dari dua kali, maka MK melanggar Konstitusi. Dia berharap, kasus ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya, Akil Muchtar, yang dijebloskan ke penjara seumur hidup tidak menimpa anggota MK sekarang.

"Salah satu inti reformasi adalah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal hanya dua kali seperti yang dituangkan dalam Undang-undang Dasar. Mahkamah Konstitusi dan pihak-pihak yang melanggar ini adalah pengkhianat reformasi," kata dia.

Saiful pun menyinggung Kuasa Hukum Jusuf Kalla, Irman Putra Sidin menyatakan, posisi wapres sebagai pembantu presiden, sama seperti menteri, harusnya masa jabatannya tidak dibatasi. Dia menegaskan bahwa pernyataan itu gegabah.

"Kalaupun ada kata-kata 'dibantu' dalam UUD, wakil presiden bukan pembantu seperti menteri. Bersama Presiden, wapres dipilih langsung oleh rakyat, dan tidak bisa diberhentikan oleh Presiden," kata dia.

Dia melanjutkan, sifat dasar sistem presidensial adalah kepala negara dan pemerintah sekaligus dipilih oleh rakyat secara langsung untuk satu masa jabatan tertentu yang bersifat fixed dan tak bisa diberhentikan di tengah jalan kecuali melanggar hukum. Presiden bertanggung jawab pada rakyat langsung lewat pemilu.

"Karena kepala negara dan pemerintahan sangat mutlak adanya untuk sebuah negara, maka harus jaga-jaga kalau-kalau Presiden berhalangan tetap atau tidak tetap. Karena itu, wakil presiden mutlak ada. Wakil presiden disiapkan untuk jadi Presiden bila keadaan darurat terjadi. Maka wakil presiden sangat melekat pada Presiden," tuturnya.

Saiful meminta semua pihak tidak memilah-milah dan membeda-bedakan antara presiden dan wakil. Bila sudah dua kali jadi wapres itu artinya jelas dua kali, siapapun pasangan presidennya.

"Kalau UUD bilang hanya boleh dua kali, ya 2 kali. Ini sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan tafsir lain," katanya.

Ia melihat tidak ada urgensinya menuntut wapres bisa lebih dua kali, sedangkan presidennya hanya dua kali. Menurutnya, sering terjadi salah kaprah tentang konsep wakil.

"Wakil itu tergantung Presiden. Memang wapres kita sering diminta mengemban tugas khusus, misalnya bidang ekonomi. Boleh saja, tapi itu bukan fungsi pokoknya. Yang pokok adalah dia sebagai wakil," demikian Saiful.

Aturan soal masa jabatan presiden dan wakil presiden ini merujuk pada pasal 7 UUD 1945. Berikut ini adalah bunyinya, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya