Kesalahan Data Pangan Mentan Bisa Hilangkan Suara Petani ke Jokowi

Petugas memeriksa stok beras di Gudang Bulog Baru Cisaranten Kidul Sub Divre Bandung, Jawa Barat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Kesalahan penggunaan data pangan yang digunakan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman berbuntut panjang. Dikhawatirkan, buruknya kinerja Mentan ini dapat membuat para petani enggan memberikan suaranya kepada pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.

Daftar Harga Pangan 23 April 2024: Daging Sapi hingga Telur Ayam Turun

"Kinerja Mentan ini dapat membuat suara petani akan berkurang ke Jokowi. Karena petani gagal paham dengan kebijakan pertanian yang dibuat oleh Mentan di bawah kepemimpinan Jokowi ini. Mereka tidak akan percaya lagi," kata Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, di Jakarta, Senin, 5 November 2018.

Untuk informasi, berdasarkan data sensus petani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah petani mencapai angka 26 juta orang. Hilangnya kepercayaan para petani terhadap pemerintah bukan tanpa sebab. Selama ini, kata Pangi, Menteri Amran kerap blunder mengurusi masalah pangan di Indonesia.

RI Sudah Impor 567,22 Ribu Ton Beras Maret 2024, Naik 921,51 Persen

"Memang tidak hanya Mentan sekarang yang tidak memperhatikan petani. Tapi kinerja Mentan ini lebih buruk dari sebelum-sebelumnya. Dia seperti penganiaya rakyat, terutama sektor pertanian," katanya.

Menurutnya, kesalahan terbesar Menteri Amran yakni menggunakan data pangan yang tak valid. Kesalahan ini berdampak signifikan terhadap kehidupan petani. Menteri Amran sempat mengaku Indonesia memiliki surplus beras dan mengekspor jagung. Faktanya, selama ini, Indonesia masih melakukan impor.

Luhut Ungkap Rencana China Tanam Ratusan Hektare Padi di Kalimantan

"Makanya, ini serba dilema. Di mana letak kita surplusnya?" ucapnya.

Peliknya kondisi pertanian ini, tegas Pangi, seakan membuat Indonesia tak membutuhkan lagi sosok Mentan. Sebab, selama ini, para petani mengurusi lahannya untuk bercocok tanam tanpa campur tangan pemerintah.

"Jangan-jangan kita enggak perlu lagi Mentan. Karena rakyat bisa mengurus sendiri pertaniannya. Dengan adanya Kementan, itu seperti menganiaya masyarakat. Karena tidak mengurus masyarakat," katanya

Atas dasar itu, Pangi meminta Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja Menteri Amran. "Kalau Jokowi tegas maka evaluasi Mentan dan pecat," katanya

Sementara itu menanggapi tidak akuratnya data pangan Kementerian Pertanian, Pengamat Politik Siti Zuhro berpendapat hal itu bisa berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi di Pilpres 2019. "Data itu kan harusnya akurat, publik sekarang kan tidak begitu saja menerima informasi dari pemerintah, mereka akan rekonfirmasi," ujarnya.

Menurut Siti, data-data pemerintah yang cenderung atau diduga manipulatif pasti akan dipertanyakan. "Kalau data salah tapi tidak diperbaiki (oleh presiden), maka akan muncul perdebatan, ujung-ujungnya akan menurunkan tingkat kepercayaan publik ke pemerintah, dan bisa menimbulkan tidak simpatik, karena dianggap kebohongan," kata Siti.

Ditambah lagi, masyarakat saat ini bisa mempertanyakan data-data yang akurat dan detil, yang dimungkinkan melalui Komisi Informasi Publik. "Akses masyarakat untuk data terkait kebijakan dimungkinkan oleh KIP. Jadi tidak ada lagi alasan pemerintah memberikan data yang tidak benar," imbuhnya.
 
Sebelumnya, Pukat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti polemik perbedaan data beras yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan).

Dua lembaga antikorupsi ini menilai polemik data beras ini harus diinvestigasi secara komprehensif. Bila perlu melibatkan unsur penegakan hukum misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi jika ada indikasi tindakan memanipulasi data atau korupsi.

Direktur Pukat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar mengatakan, perlu ada pihak-pihak yang ikut campur menyelesaikan masalah ini, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi jika ada indikasi tindakan memanipulasi data atau korupsi.

Berdasarkan data BPS, surplus beras 2018 sebesar 2,85 juta ton. Hal ini didasarkan pada potensi produksi gabah kering giling sampai akhir tahun yang sebanyak 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Dengan jumlah kebutuhan yang diperkirakan hampir sama dengan 2017 yakni sebesar 29,57 juta ton maka surplus diperkirakan hanya 2,85 juta ton.

Di pihak lain, Kementerian Pertanian menyatakan ada potensi surplus sebanyak 16,31 juta ton tahun ini. Angka tersebut berasal dari prediksi produksi sebesar 46,7 juta ton dan perkiraan kebutuhan sebanyak 30,37 juta ton. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya