Logo BBC

Politikus Muda: Adu Nasib, Idealisme, dan Perintah Orang Tua

Sejak reformasi, pemilu tahun 2019 merupakan ajang politik yang paling melibatkan pemilih dan calon anggota legislatif berusia muda.-Paula Bronstein/Liasion/Getty Images
Sejak reformasi, pemilu tahun 2019 merupakan ajang politik yang paling melibatkan pemilih dan calon anggota legislatif berusia muda.-Paula Bronstein/Liasion/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Politikus muda lintas partai bermunculan di berbagai daerah untuk memperebutkan kursi legislatif pada pemilu 2019.

Kehadiran mereka beriringan dengan fakta, mayoritas pemilik hak suara saat ini berusia tidak lebih dari 40 tahun.

Ongkos politik yang mahal dan birokrasi berlapis-lapis disebut sebagai dua hal yang dapat menjegal niat anak-anak muda ini.

Keberhasilan mereka dalam konstelasi politik pun akhirnya kerap ditentukan dua hal: pragmatisme atau idealisme.

"Yang punya banyak uang untuk membiayai kampanye atau membeli suara, itu yang banyak berhasil," ujar dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savarani.

Di sisi lain, kata Amalinda, "Mereka yang idealis tapi tidak mengakar di masyarakat dan tidak punya uang, pasti akan kalah."

Amalinda menuturkan, politikus muda hadir dalam setiap pemilihan anggota legislatif.

Sebagian dari mereka bertarung untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, tapi ada pula yang sekedar mengadu nasib.

Di Banten, Andiara Aprilia, putri ketiga eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah, mendaftar sebagai caleg DPD untuk periode kedua. Pada pemilu 2014, ia lolos ke Senayan saat berusia 27 tahun.

Dua putri taipan sekaligus Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, juga maju menjadi caleg DPR, yaitu Angela Herliani (30) dan Valencia Herliani (25). Ini akan menjadi debut mereka di ajang politik.

Di luar nama-nama itu, terdapat pula sejumlah pemuda dan pemudi lain yang akan bertarung di Pileg 2019, membawa nama besar orang tua mereka di kancah politik.

Mereka tersebar di berbagai daerah dan bersaing di tingkat DPR, DPD, maupun DPRD.

Politikus muda lainnya, kata Amalinda, kerap muncul dengan idealisme dan visi-misi tak visibel. Produktivitas kelompok politikus ini dianggap rentan terpuruk meski melenggang ke badan legislatif.

"Sistem legislatif Indonesia tak memberi cukup ruang bagi individu untuk merealisasikan apa yang mereka janjikan pada pemilih."

"Selalu ada tiga lapis negoisasi kepentingan, di tingkat partai, komisi, dan koalisi," ujar Amalinda.