Lima Faktor yang Bikin Heboh Soal E-KTP Warga Negara Asing

Kabar e-KTP warga China ternyata yang benar warga Cianjur.
Sumber :
  • Istimewa/Viryan Aziz

VIVA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini menilai, merebaknya polemik kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP warga negara asing jelang Pilpres 2019 ini, disebabkan karena adanya lima faktor.

MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4%, Mahfud Ungkit Lagi Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Titi menjelaskan, faktor pertama adalah karena awamnya pemahaman publik mengenai makna e-KTP tersebut. Khususnya, yang hanya menilainya sebagai bentuk identitas untuk warga negara indonesia saja.

Faktor kedua menurutnya, adanya disparitas atau kesenjangan informasi antara apa yang dipahami publik dengan ketentuan yang ada.

MK Sebut Perubahan Ambang Batas Parlemen Harus Perhatikan 5 Poin Ini

"Karena isu ini bukan isu yang familiar di masyarakat Indonesia, sehingga informasi benar yang beredar hanya pada pihak-pihak tertentu saja," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu 2 Maret 2019.

Faktor ketiga, ketatnya nuansa kompetisi dalam pemilu 2019 ini, baik untuk pilpres maupun pileg. Apalagi hanya menyediakan dua pasang capres-cawapres dan tidak ada putaran kedua. Sementara, untuk kompetisi pileg, para parpol dihadapkan pada tingginya tuntutan parliamentary treshold.

MK Hapus Ambang Batas DPR 4 Persen, Berlaku di Pemilu 2029

Selain itu, faktor keempat menurut Titi adalah akibat dari adanya transformasi e-KTP. Di mana sebelumnya hanya menjadi syarat administrasi kependudukan. Namun, e-KTP itu kini telah berubah menjadi syarat untuk mengakses hak konstitusional.

"Faktor kelima adalah, isu ini memang populis untuk digoreng dan sangat sensasional, serta sangat mudah untuk memprovokasi pemilih secara nasional. Jadi bukan hanya soal warga negara asingnya, tapi siapa (dari negara mana) asingnya itu. Dan ini mudah memprovokasi masyarakat," kata Titi.

Karenanya lanjut Titi, polemik ini memang harus diatasi dengan memberikan pemahaman yang benar kepada publik dan masyarakat. Karena dampak yang diakibatkannya sangat besar bagi kondisi dan stabilitas di masa-masa menjelang pesta demokrasi pada April mendatang.

"Narasi publik harus direbut dan dilurusan, karena bisa memengaruhi persepsi dan kepercayaan publik di pemilu 2019. Karena ini soal emosional pemilih, di mana pemilih kita sudah punya kecenderungan mudah sekali diprovokasi soal ras, suku, dan keberadaan orang asing," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya