Jejak Politik Kiai Ma'ruf

Cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin tiba untuk menonton debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, 17 Februari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA - Namanya memang tidak begitu populer di masyarakat umum. Tapi karier sosok yang satu ini di dunia politik dan organisasi kemasyarakatan sudah sangat panjang.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Ma'ruf Amin lahir di Tangerang, 11 Maret 1943. Sebentar lagi, Ma'ruf menginjak usia yang ke-76 tahun.

Sebelum diumumkan Presiden Jokowi menjadi calon wakil presiden, Ma'ruf memang masuk menjadi salah satu nominator. Namun, namanya kalah tenar dibandingkan tokoh lainnya, misalnya saja Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, seorang ahli hukum tata negara yang juga duduk di Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Tapi takdir berkata lain. Sehari jelang pengumuman, Mahfud sudah bersiap-siap. Namun pada akhirnya, nama Ma'ruf Amin-lah yang diumumkan menjadi cawapres Jokowi. Ungkapan bahwa politik itu dinamis terbukti dalam kasus ini.

Nama Ma'ruf juga mengemuka di publik secara luas seiring munculnya kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sekitar tahun 2016-2017. Ma'ruf yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia itu menandatangani fatwa yang menyatakan bahwa Ahok menista agama.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Tak sampai di sana, Ma'ruf juga turut menjadi saksi ahli di persidangan Ahok. Namanya kembali mengemuka lantaran Ahok dan tim hukumnya justru menyerang Ma'ruf dalam sidang tersebut.

Sampai sejauh itu, publik secara umum hanya mengetahui bahwa Ma'ruf Amin adalah seorang kiai, ulama, yang menjabat sebagai Ketua Umum MUI, juga Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Anggapan tersebut memang tidak salah. Tapi, sebelum mengemban dua jabatan tinggi itu, ia ternyata sudah malang melintang baik di dunia politik maupun organisasi.

Segala karier Ma'ruf itu diawali dari lingkungan dia dilahirkan dan dunia pendidikan. Ma'ruf lahir di lingkungan Nahdlatul Ulama. Dan pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat dan juga Madrasah Ibtidaiyah di Kresek, Tangerang, pada 1955.

Ia lalu menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dari tingkat Madrasah Tsanawiyah sampai Madrasah Aliyah, 1958-1961. Setelah lulus pondok, ia meneruskan kuliah di Fakultas Ushuluddin, Universitas Ibnu Chaldun, Bogor, Jawa Barat, pada 1967.

Setelah itu, Ma'ruf terjun ke dunia dakwah. Ia mulai menjadi anggota koordinasi Dakwah Indonesia (KODI) DKI Jakarta. Selain itu, ia juga aktif di NU dan MUI.

Ma'ruf juga terjun ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan. Dia pun sukses menjadi anggota DPR DKI Jakarta dari partai berlambang Ka'bah tersebut pada tahun 1973-1982. Sebelumnya, dia juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi dari utusan golongan pada 1971-1973.

Setelah di PPP, Ma'ruf pindah ke Partai Kebangkitan Bangsa seiring bergulirnya reformasi pada 1998. Melalui partai yang didirikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu, Maruf melenggang menjadi anggota DPR/MPR 1999-2004.

Karena panasnya dinamika politik di PKB dan nasional, Ma'ruf kemudian memilih konsentrasi ke organisasi kemasyarakatan NU dan MUI. Sampai kemudian, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden selama periode 2007-2009 dan 2010-2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Karier Ma'ruf di dunia keorganisasian pun semakin naik. Puncaknya, dia diberi amanah sebagai Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU periode 2015-2020. Sedangkan di MUI, dia menjadi Ketua Umum MUI periode 2015-2020, setelah sebelumnya sebagai ketua Komisi Fatwa. Tidak lupa, Ma’ruf juga masuk jajaran anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila era Presiden Jokowi.

Selain itu, Ma'ruf juga tercatat pernah menjadi Ketua Ansor Jakarta pada 1964-1966, Ketua Front Pemuda pada 1964-1967, sampai Ketua NU Jakarta pada 1966-1970. Seperti diketahui, masa-masa ini adalah zaman peralihan antara kekuasaan Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto yang juga diwarnai dengan pertumpahan darah dan penghancuran Partai Komunis Indonesia. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya