Debat Cawapres, CSIS: Masih Banyak Akar Masalah yang Belum Terungkap

Debat Ketiga Cawapres Pilpres 2019, Sandiaga Uno & Ma'ruf Amin.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Debat Calon Wakil Presiden pasangan calon 01, Ma’ruf Amin dengan paslon 02, Sandiaga Uno yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum pada Minggu malam 17 Maret 2019, sebagian besar masih bersifat normatif dan belum banyak menyentuh akar masalah.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Sesuai dengan tema yang mengangkat isu Pendikan, Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Sosial Budaya, debat ditargetkan bisa memberikan gambaran kepada masyarakat tentang berbagai masalah yang meliputi empat sektor tersebut, dan bagaimana kedua paslon mencarikan solusinya.

Dalam Diskusi Seri Pemilu yang diselanggarakan oleh Centres for Strategic and International Studies (CSIS) Senin 18 Maret 2019, yang menghadirkan pembicara pemerhati pendidikan Doni Koesoema A, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI, Teguh Dartanto, Peniliti Senior CSIS, Haryo Aswicahyono, Pengamat Sosial Budaya Vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, dengan moderator Mari Elka Pangestu, terungkap bahwa masih banyak akar masalah yang belum terkuak, apakah karena waktu yang terbatas maupun memang tidak menjadi fokus para cawapres.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Di bidang pendidikan, menurut Doni, seperti dikutip dari keterangannya, ada beberapa akar masalah yang seharusnya terungkap dalam debat, sehingga masyarakat dapat menilai secara lebih baik kedua paslon. Dalam soal riset misalnya, meskipun kedua paslon membicarakannya, tetapi persoalan yang terungkap masih sebatas soal dana dan koordinasi.

Padahal, menurut Doni, salah satu akar masalah kurang berkembanganya riset di Indonesia, terkait dengan kurikulum dasar pendidikan yang tidak mendorong orang untuk menghargai kegiatan riset. “Harusnya, paslon berbicara bagaimana konteks evaluasi dan penilaian secara menyeluruh, dari SD sampai PT (perguruan tinggi). Baru, cari solusi terbaik yang utuh dan menyeluruh, agar pengembangan minat dan bakat menjadi jelas, tidak seperti yang berlangsung selama ini,” kata dia.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Doni juga menyoroti wacana menghapus Ujian Nasional (UN). Menurut dia, ini adalah gagasan lama, dan tidak terealisasi sampai saat ini, karena tidak ada jurus-jurus yang jelas untuk menerapkannya. Pengalaman menunjukkan, keinginan Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy untuk melakukan moratorium UN saja gagal.

“UN memang harus dihapuskan. Tetapi, alasannya bukan karena biaya tinggi, melainkan karena secara pedagogis tidak kondusif bagi pengembangan pembelajaran otentik. Namun, solusinya bukan dengan pengembangan minat dan bakat, perlu ada link and match dengan apa yang dibutuhkan Perguruan Tinggi dalam menyeleksi siswa, disertai perubahan sistem kebijakan penilaian yang lebih pedagogis dan strategis fokus pada penilaian formatif. Masalah lain, ide ini akan berhadapan dengan UU Sisdiknas dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan yang tetap mewajibkan Negara melakukan evaluasi eksternal,” katanya.

Sama halnya di debat soal pendidikan, paslon juga belum menghadirkan solusi yang jelas dalam masalah kesehatan. Menurut Teguh Dartanto, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah luas cakupannya dengan 218 juta jiwa yang tercatat, telah menyelematkan 1.2 juta orang dari kemiskinan, serta 15 juta orang miskin terlindungi dari garis kemiskinan, dan mengurangi prevalensi stunting sebesar 10 persen.   

Namun, kedua kandidat hanya fokus pada isu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), stunting, dan pentingnya upaya preventif dan promototif, bukan saja kuratif. Dari debat juga terungkap program dari kedua paslon tidak mempunyai perbedaan yang mencolok. Paslon 01 mencoba menjawab isu secara keseluruhan, tetapi masih normatif. Sementara itu, paslon 02 fokus terhadap isu kesenimbangun program JKN, dan jaminan seluruh masyarakat untuk mendapatkan akses yang baik.

Kedua paslon tidak menyebut isu imunisasi, pergeseran penyakit ke penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung, dan perilaku beresiko seperti merokok. Namun, jika isu imunisasi tidak diatasi, maka di masa yang akan datang, Indonesia tetap dapat menghadapi penyakit menular, bukan saja penyakit tidak menular seperti tren di negara-negara lain. Atau, dalam arti lain menghadapi double burden of disease.

Keduanya juga tidak membahas isu peran pemerintah daerah dalam isu kesehatan, padahal berdasarkan UU Kesehatan, Pemda harus mengalokasikan 10 persen dana APBD untuk program kesehatan, dan pemerintah pusat lima persen APBN. “Selama ini, pemerintah konsisten mengalokasikan dana yang rendah untuk program kesehatan, hanya sekitar satu persen dari PDB. Tidak mungkin mendapatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, dengan alokasi dana seperti sekarang,” kata Teguh.

Berikutnya, sektor tenaga kerja

Sektor Tenaga Kerja

Di sektor tenaga kerja, menurut Haryo Aswicahyono, memang ada  penurunan pengangguran, transformasi struktural ke sektor manufaktur dan jasa-jasa dari pertanian dan hal tersebut positif, karena tenaga kerja berpindah ke sektor yang lebih produktif dan perolehan yang lebih tinggi. Namun, masih banyak persoalan krusial yang tidak terungkap.

Menurut Haryo, ada beberapa isu penting dalam sektor ketenagakerjaan saat ini, antara lain terjadi penuaan, di mana pangsa kaum muda dalam angkatan kerja (mereka berusia 20-39 tahun) turun dari 52,2 persen dalam satu dekade terakhir menjadi 47,8 persen pada Februari 2018, dan bahwa tingkat pengangguran di anak muda masih relatif tinggi.

“Seiring dengan penuaan itu, maka kebutuhan penciptaan lapangan kerja juga menurun. Sementara, kebutuhan untuk kesehatan dan pensiun lansia semakin besar. Dengan tren seperti ini, ekonomi akan menciptakan cukup tenaga kerja dalam jangka pendek. Pertanyaan, kemudian adalah jenis pekerjaaan apa yang perlu disediakan untuk masa depan, high value added manufacturing and services?” katanya.

Haryo juga menyoroti, perbedaan upah laki-laki dan perempuan tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat yang antara lain terjadinya karena hambatan kultural. Temuan dalam survei antara lain menyebutkan, jika tidak cukup lapangan kerja, prioritas harus diberikan pada laki-laki. “Harusnya, ini poin menarik untuk dibahas dalam debat kebudayaan,” kata dia.

Haryo juga menyoroti, kegiatan training dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja. Selain meningkatkan link and match, juga perlu mengembangkan skala training yang memadai dengan target melakukan upskilling dan reskilling pada tenaga kerja (TK) yang sudah ada, training untuk pencari kerja baru dan untuk TK yang tergeser oleh teknologi baru.

“Ada kesan, porsi pemerintah dalam skema training ini sangat besar, dan lebih mengarah pada pencari kerja baru. Untuk itu, perlu elaborasi di tiap komponennya dan pembagian tanggung jawab dan skema yang berbeda terhadap tiga kelompok training,” katanya.

Menurut dia, saat ini sangat sedikit training dilakukan oleh perusahaan Indonesia, dibanding negara-negara lain. Ini antara lain, karena pasar tenaga kerja yang terlalu rigid. Misalnya, besarnya upah minimum dan biaya pesangon, menyebabkan perusahaan melakukan outsourcing dan tidak investasi di training untuk pegawai yang permanen.

“Walaupun baru saja pemerintah mengumumkan insentif pajak untuk training bagi pekerja, namun hal tersebut tidak akan cukup untuk meningkatkan investasi perusahaan untuk training. Karena itu, inisiatif training tidak bisa dilepaskan dari reformasi ketenagakerjaan,” ujarnya.

Sementara itu, Devie Rahmawati cukup menyayangkan, masalah budaya kurang mendapat tempat dalam debat cawapres. Padahal, masalah ini sangat penting karena budaya sangat berpengaruh ke banyak sendi kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi.

Meskipun sedikit disinggung dalam debat, namun pembahasan budaya lebih banyak dilihat dari sudut padang ekonomi, dan bagaimana menciptakan nilai dari ekonomi berbasis budaya seperti ekonomi kreatif dan pariwisata. 

Padahal, isu budaya mengakar di berbagai persoalan dan seharusnya bagaimana penguatan budaya berperan dalam mempertahankan nilai-nilai seperti toleransi dan kebhinekaan dalam perilaku kita dan kehidupan kita.Ini adalah hal krusial yang perlu diperhatikan.

Selanjutnya, pendekatan komprehensif

Pendekatan Komprehensif

Menurut Mari Pangestu, memang banyak yang kurang puas dalam melihat debat paslon. Selain masalah waktu yang terbatas, kultur juga belum mendukung, dimana bangsa Indonesia bukan bangsa yang suka berdebat. “Namun demikian, dari materi debat yang disampaikan cawapres dan diskusi hari ini, terlihat berbagai tantangan yang akan bangsa kita hadapi ke depan. Karena itu, pendekatan yang lebih komprehensif di masa datang menjadi semakin penting,” kata Mari.

Sebagai gambaran, Mari menyebutkan, dalam soal Jaminan Kesehatan, meskipun sudah mengcover sekitar 215 juta jiwa, masih banyak yang masuk yaitu sekitar 50 juta jiwa yang belum tercatat. Anggaran jaminan kesehatan juga masih terbatas, sekitar satu persen dari PDB, padahal menurut UU anggaran kesehatan dari pemerintah mencapai lima persen APBN dan 10 persen APBD.

“Dalam hal ini, persoalan di bidang layanan kesehatan tidak hanya sebatas bagaimana meningkatkan kualitas layanan, tetapi juga masih perlu meningkat coverage-nya, serta mendorong pendanaan yang lebih besar, tetapi juga pembelanjaan yang lebih efektif dan terukur dampaknya. Ini tentu memerlukan berbagai perubahan, termasuk dalam peraturan,” katanya.

Mari juga melihat, persoalan pengembangan budaya juga semakin penting untuk diperhatikan untuk membangun harmonisasi yang lebih kuat. Tantangannya bukan sebatas bagaimana ragam budaya yang ada bisa menjadi potensi pengembangan ekonomi rakyat, tetapi juga keragaman ini juga harus dapat memperat dan meningkatkan nilai-nilai sosial seperti toleransi dalam membangun masyarakatyang lebih adil, sejahtera, dan bahagia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya