Logo DW

LIPI: Politik Dinasti di Indonesia Kian Subur

Elnur/Fotolia
Elnur/Fotolia
Sumber :
  • dw

Pada Rabu, 18 September 2019, putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mengunjungi kediaman dinas Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Akibat kunjungan ini, beredar spekulasi bahwa Gibran akan maju untuk mencalonkan diri jadi Wali Kota Solo. Sejauh ini Gibran memang belum menjawab dengan jelas terkait adanya motif politik di balik kunjungan tersebut.

Masalah akan mencalonkan diri secara atau tidak memang hak politik tiap individu. Namun kunjungan ini kontan menimbulkan tanda tanya apakah nantinya satu per satu anggota keluarga ini juga terjun ke politik praktis?

Mengikuti jejak anggota keluarga ke dalam kancah politik memang bukan hal asing, baik di Indonesia maupun luar negeri. Sebelum era reformasi Soeharto sempat menunjuk putrinya yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) menjadi menteri sosial. Setelah reformasi, sejumlah nama keluarga pun muncul di berbagai daerah, membentuk klan-klan di mana orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan meduduki berbagai posisi strategis baik di eksekutif maupun legislatif.

Tidak masalah, selama mereka tidak korupsi, adil dan bisa memegang amanah, demikian yang muncul dalam benak pikiran. Namun apakah benar sebegitu mudah? DW berbincang dengan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani mengenai fenomena politik dinasti ini.

Deutsche Welle: Sejauh mana praktik politik dinasti mengakar di Indonesia baik di tingkat nasional maupun regional? Seperti apa perkembangannya jika dilihat dari era reformasi dan sebelumnya?

Dini Suryani: Ketika Orde Baru, politik dinasti lebih mencolok di tingkat nasional. Ditandai dengan kehadiran Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) yang menjadi anggota MPR RI dari Fraksi Golkar dari tahun 1992-1998 ketika ayahnya, Presiden Soeharto untuk ke sekian kalinya menjadi presiden. Ia (Tutut) kemudian ditunjuk menjadi Menteri Sosial ke-23 oleh ayahnya sendiri, meskipun hanya menjabat beberapa bulan (Maret-Mei 1998) karena gelombang tuntutan reformasi tidak bisa dibendung lagi.

Ketika Orde Baru runtuh, praktik dinasti justru semakin menyubur, tetapi kali ini di tingkat lokal, seiring dengan perubahan hubungan pusat-daerah yang semula tersentralisasi menjadi desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Politik dinasti semakin subur ketika pilkada langsung diberlakukan sejak tahun 2005.