Jokowi Terapkan Darurat Sipil untuk Corona, Ini Kata Eks Ketua MK

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva (kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Presiden Joko Widodo menyampaikan perlunya kebijakan darurat sipil dalam penanganan dan pencegahan penyebaran virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Rencana pemerintah tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah pakar hukum dan tata negara. 

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, mengatakan pemerintah tidak perlu merujuk pada Undang-Undang Darurat Sipil atau Undang-Undang Penanggulangan Bencana dalam melakukan lockdown. Tapi, cukup dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

"Dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusat dapat menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Berdasarkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat itulah dilakukan berbagai jenis karantina," kata Hamdan lewat Twitter yang dikutip pada Selasa, 31 Maret 2020.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Untuk implementasi kedaruratan kesehatan masyarakat, kata dia, pemerintah harus membentuk Peraturan Pemerintah dalam rangka implementasi, baik karantina di pintu masuk, karantina wilayah atau pembatasan sosial dalam skala besar.

Menurut dia, sekarang ini semua seperti gamang menghadapi kondisi kritis. PP harus segera dikeluarkan sebagai pedoman bagi pemerintah untuk menghadapi krisis dengan segera. Misalnya, pembatasan sosial dalam skala besar seperti libur sekolah, kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan publik seharusnya ditetapkan oleh Menteri.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

"Tetapi, Pemda melangkah lebih dahulu," ujarnya.

Ia mengatakan karantina wilayah yang dilakukan daerah-daerah menjadi masalah, karena bukan wewenang Pemerintah Daerah. Namun, masing-masing Pemerintah Daerah menghadapi masalah, karena demi melindungi warganya.

"Jika sudah ada PP dapat jadi pedoman dan pusat dapat melimpahkan wewenang itu ke daerah. Kita juga harus segera menetapkan karantina di pintu masuk, khusus dari negara-negara tertentu. Tanpa kebijakan tersebut akan sangat sulit menghentikan keberlanjutan penyebaran virus ini di Indonesia," jelas dia.

Oleh karena itu, Hamdan mendesak pemerintah harus segera menetapkan karantina wilayah untuk daerah tertentu dengan tetap menjamin penghidupan rakyat agar tidak kelaparan, ketersediaan makanan, obat-obatan dan alat kesehatan.

"Pemerintah perlu mengundang semua konglomerat dan pengusaha besar untuk ikut membantu mengatasi masalah bangsa ini, terutama persediaan alat Kesehatan, APD serta ketersediaan pangan, sebagai bentuk sosial responsibility dari para konglomerat," katanya.

Sementara mantan Ketua MK periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie mengatakan, hukum ada dua macam yakni dalam keadaan normal atau darurat. Menurut dia, masing-masing berlaku hukum berbeda.

"Dalam darurat perlu deklarasi agar berlaku hukum darurat, segala aturan bisa diterobos untuk atasi keadaan darurat. Yang diperlukan tindakan, bukan pengaturan. Kalau terpaksa mengatur, namanya perppu, bukan yang lain," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta untuk mempertegas kebijakan pembatasan aktivitas sosial. Bahkan, untuk memperkuat itu harus diiringi dengan kebijakan darurat sipil.

Pembatasan aktivitas sosial, saat ini sudah masif dilakukan terutama oleh aparat keamanan. Seperti membubarkan pesta-pesta yang mengumpulkan orang banyak, hingga aktivitas nongkrong di kafe yang kerap dilakukan sejumlah muda mudi.

"Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil," jelas Presiden dalam rapat kabinet terbatas, Senin 30 Maret 2020.

Darurat sipil diberlakukan, mengingat virus corona kini sudah mewabah, menjadi pandemik global dan bahkan sudah menyebar ke banyak daerah. Pusat persebaran tidak lagi hanya Jakarta dan sekitarnya, tetapi sudah meluas hingga ke seluruh Jawa dan luar Jawa.

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya