Nasib Wacana Presiden 3 Periode: Belajar dari Sukarno dan Soeharto

Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA - Sebelum era reformasi, UUD 1945 tidak mengatur secara tegas soal batasan periode masa jabatan presiden. Kondisi itu membuat Indonesia dipimpin oleh 'hanya' dua orang presiden yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto pada masa yang relatif panjang.

Presiden Sukarno tercatat menjadi presiden sejak 1945 sampai jatuh pada 1967. Malah dalam prosesnya sempat ditetapkan oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup.

Sementara, Presiden RI kedua, Soeharto, jauh lebih lama lagi yaitu dari 1967 sampai dengan 1998. Sejak naik menggantikan Sukarno, Soeharto terpilih menjadi presiden dalam tujuh kali pemilihan umum. Terhitung 32 tahun Presiden Soeharto berkuasa, hingga dijuluki penguasa Orde Baru.

Sayangnya, pada periode terakhir, pemegang Surat Perintah 11 Maret itu memutuskan untuk berhenti karena krisis moneter dan juga desakan para mahasiswa yang menuntut reformasi.

Tidak berbeda jauh dengan penggantinya, Bung Karno juga jatuh melalui proses yang tidak biasa. Kekuasaannya mulai goyah pasca terjadinya tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S-1965), atau yang juga dikenal dengan Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) yang menewaskan sejumlah petinggi Angkatan Darat.

Gerakan reformasi 1998 lantas menyuarakan perubahan termasuk soal aturan masa jabatan presiden. Amandemen atas UUD 1945 pun dilakukan. Pada akhirnya, masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode saja.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen yaitu presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sedangkan, sebelum amandemen, pasal 7 UUD 1945 berbunyi presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Jokowi Ungkap Skandal Pencucian Uang Lewat Kripto hingga Rp 139T

Meski demikian, wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode mengemuka belakangan ini. Pihak yang mengusulkannya adalah peneliti yang juga penasihat relawan Joko Widodo-Prabowo Subianto (Jokpro) untuk 2024, Muhammad Qodari.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari menyampaikan hasil survei.

Photo :
  • Ridho Permana
Putin Telepon Presiden Iran Wanti-wanti Dampak Memanasnya Konflik Timur Tengah

Dia beralasan idenya itu didukung salah satu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyatakan 66 persen pemilih PDIP setuju Jokowi kembali maju di periode ketiga.

Baca juga: Sepakat 3 Periode, M. Qodari Dukung Jokowi-Prabowo di Pemilu 2024

Hasto Bilang Anak Ranting PDIP Minta Ketemu Jokowi Sebelum Sowan ke Megawati

Belakangan, isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali muncul. Kali ini, Ketua Umum relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mengusulkan agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang dua sampai tiga tahun.

Ramai-ramai Menolak

Tak seperti Qodari, sejumlah pihak justru menolak ide menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Penolakan itu datang dari partai-partai politik seperti PDIP, dan bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri.

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa partainya menolak adanya gagasan masa jabatan presiden tiga periode. Dia menyampaikan gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi 3 periode ini jelas jauh dari pandangan dan sikap politik partainya.

Bahkan, lanjutnya, Jokowi tidak pernah berpikir bisa menjadi presiden tiga periode.

"Isu tiga periode ini kalau kita lihat subjeknya (Jokowi) bolak-balik beliau sudah mengatakan tidak pernah berpikir bisa menjadi presiden tiga periode," kata Ahmad Basarah dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta.

Politikus PDIP, Ahmad Basarah.

Photo :
  • VIVA / Ridho Permana

Basarah menyatakan bahwa Jokowi menganggap bahwa orang-orang yang memunculkan gagasan tiga periode, mau cari muka.

"Dalam ungkapan satire, Presiden Jokowi menganggap orang-orang yang memunculkan gagasan 3 periode, mau cari muka, mau nampar muka saya dan ingin menjerumuskan saya. Jadi, kalau subjeknya saja sudah tidak mau, saya kira sangat tidak elok konstitusi kita dipermainkan hanya kepentingan orang per orang saja," katanya.

Jokowi pada suatu kesempatan di Istana Merdeka, Jakarta, memang menolak gagasan presiden tiga periode. Menurutnya, pihak yang menyuarakan ide tersebut punya tiga motif.

"Satu ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan," kata dia.

Sikap Jokowi tersebut kembali ditegaskan oleh Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman. Dia bersaksi bahwa Jokowi setia dan teguh menjalankan konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 7 amandemen ke-1 yang berbunyi presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Ini adalah masterpiece gerakan demokrasi dan reformasi 1998 yang harus kita jaga bersama," kata Fadjroel lewat akun Instagramnya, Senin, 13 September 2021.

Jika banyak kalangan termasuk Presiden Jokowi dan partai pengusungnya, PDIP, menolak, lantas apa urgensi dari gagasan masa presiden tiga periode?

Jokowi sendiri mengatakan bahwa sebaiknya UUD 1945 tidak usah diamandemen yang otomatis tidak ada perubahan masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Dia mengajak seluruh bangsa untuk konsentrasi pada masalah-masalah yang dihadapi rakyat Indonesia.

"Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang sekarang ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," kata Jokowi.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menambahkan bahwa gagasan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang kemudian memberikan peluang Jokowi untuk berpasangan dengan Prabowo Subianto di Pilpres 2024 terlalu kerdil. Dia juga menyebut pengusung ide tersebut bodoh.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya