Ambang Batas Presiden Digugat Gatot Nurmantyo, Puan: 20 Persen Final

Ketua DPR RI Puan Maharani membacakan Ikrar setia Pancasila
Sumber :
  • Biro Setpres

VIVA – Ketua DPR Puan Maharani mengatakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), tidak akan ada pembahasan perubahan lagi. Maka untuk ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold (PT), tetap 20 persen.

Prabowo Buka Suara soal Calon Menteri Keuangan di Kabinetnya

PT 20 persen berarti, partai politik yang mencapai 20 persen bisa mengajukan calon presiden sendiri. Jika tidak mencapai 20 persen, maka harus berkoalisi dengan partai-partai lain.

Saat ini, ada permohonan uji materi terhadap PT ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi nol persen. Pengajuanya adalah mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Gerindra Sebut Dasco dan Puan Faktor Penting Percepatan Rekonsiliasi Politik

“Di DPR, revisi undang-undang sudah final dan tidak akan dibahas lagi. Itu sudah kesepakatan yang ada,” kata Puan di Gedung DPR pada Kamis, 16 Desember 2021.

Oleh karena itu, Puan yang merupakan putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ini meminta kepada semua pihak untuk menghormati kentetuan presidential threshold yang sudah final tersebut.

Hasto PDIP: Mbak Puan Ketua DPR Selanjutnya Sesuai Arahan Ibu Megawati

“Kita berharap keputusan yang sudah dilaksanakan tersebut bisa dihormati semua pihak,” jelas dia.

Gatot Nurmantyo Gugat ke MK

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Sebelumnya diberitakan, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember 2021 bernomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021. Gatot Nurmantyo menunjuk kantor hukum Refly Harun & Partners sebagai pihak kuasa hukum.

Dalam gugatannya, pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan 'Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'.

Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu dinilai telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, karena telah mengakibatkan Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu.

Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan (vide Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV-2017, 11 Januari 2018).

“Bahwa partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki politik)," tulisnya dalam pokok perkara.

Atas dasar itu, pemohon dalam petitumnya meminta agar majelis mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, dan menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya