Kisruh Pemekaran Papua Pelik, Yorrys: Diperlukan Kesamaan Visi

Anggota DPD asal Papua, Yorrys Raweyai.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Rencana pemekaran Papua dengan membentuk daerah otonomi baru (DOB) menuai protes dari sebagian rakyatnya. Baru-baru ini, ribuan rakyat Papua turun ke jalan sebagai bentuk protes penolakan rencana pemekaran wilayah tersebut.

TNI dan Polri Minta Maaf kepada Masyarakat atas Bentrok Prajurit AL dan Brimob di Sorong

Menanggapi itu, Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai coba berdialog dengan perwakilan DPR Papua, Komnas HAM Papua, dan sejumlah organisasi mahasiswa Papua. Eks politikus Golkar itu ingin menyerap aspirasi terkait polemik penolakan pemekaran Papua.

Yorrys mengatakan dalam polemik ini, mestinya pemerintah pusat bisa mensosialisasikan isu-isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif. Menurutnya, perbedaan pandangan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus (Otsus) Papua jilid II itu serta Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU tersebut seharusnya  dikomunikasikan dengan baik. 

KSAL Klaim Perselisihan Prajurit TNI dan Oknum Brimob di Sorong Berakhir Damai

Dia bilang, baik pemerintah pusat dan rakyat Papua ingin tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu. Namun, hal ini mesti ada persamaan visi dan paradigma. Sebab, selama masih ada kecurigaan akan sulit dijalankan.   

“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan menjelma jadi situasi yang kontraprodiktif. Justru menyebabkan masyarakat jadi pihak yang dikorbankan," kata Yorrys, dalam keterangannya dikutip pada Jumat, 11 Maret 2022.

Pj Gubernur Papua Tengah Minta Insiden Demo Penolakan Militerisme di Nabire Jangan Terulang

Yorrys menambahkan, justru saat ini penting dalam penyusunan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Sebab, Perdasi dan Perdasus nanti yang menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otsus jilid II bisa berjalan konsisten.

Warga Papua solidaritas kembalikan beasiswa yang pernah diterima Veronica Koman

Photo :
  • VIVA/Willibrodus

Selain itu, menurutnya Perdasi dan Perdasus itu menjadi rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk secara bersama melihat perkembangan dari berbagai kebijakan.

Dia mencontohkan kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua seperti dicantum dalam PP.

"Mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya," tutur Yorrys.

Pun, ia menyebut jika tak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan lantaran ketidaksamaan visi dan misi. Meski demikian, ia mengakui perubahan kebijakan ini pelik dan tak mudah dilakukan.

Bagi dia, langkah pemerintah dalam rencana DOB akan banyak penentangan dan penolakan. Yorrys mengingatkan semua itu harus didialogkan dengan komprehensif. 

Dia menekankan, persoalan Papua bukan masalah baru. Tapi, persoalan yang sudah berlangsung selama rentang waktu puluhan tahun. Untuk menyelesaikannnya tidak mungkin bisa dalam waktu singkat seperti membalikan telapak tangan.

Yorrys mengatakan demikian karena di Tanah Papua ada kepentingan kultur, tradisi, budaya, ekonomi hingga politik. Maka itu, mesti bisa dikomunikasikan secara baik. 

"Memang pelik dan ruwet. Namun, tanpa kesadaran dan komunikasi aktif dan intens, kita hanya akan melahirkan persoalan baru di masa yang akan datang. Dan, rakyat Papualah yang akan menjadi korban," tutur Yorrys.

Dalam pertemuan itu, Yorrys menerima beberapa aspirasi.  Salah satunya dari Ketua DPR Papua, Yunus Wonda. Dia bilang sumber daya manusia (SDM), infrastruktur daerah belum siap untuk menerima kebijakan pemekaran wilayah.

Wonda khawatir masyarakat asli Papua hanya akan jadi penonton dan objek pembangunan.

"Lahirnya DOB di Tanah Papua hanya akan semakin memarjinalisasi orang asli Papua yang sejak puluhan tahun cenderung terabaikan dalam proses pembangunan," tutur Wonda.

Sementara, perwakilan mahasiswa dari HMI Papua, Nawal Syarif, mengatakan UU Otsus Jilid II belum bisa melahirkan solusi persoalan di Papua. Sebaliknya, isu yang tercantum dalam UU hanya memenuhi hasrat Pemeriantah Pusat yang hendak menarik kewenangan daerah ke pusat. "Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran," ujar Syarif.

Rencana pemekaran Provinsi Papua tertuang dalam Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Aturan pasal itu awalnya pemekaran Papua bisa dilakukan atas restu persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan SDM, kemampuan ekonomi.

Tapi, setelah Otsus direvisi, Pasal 76 terutama ayat (2) dalam UU itu pemekaran bisa dilakukan pemerintah pusat dan DPR. Berikut bunyi pasal 76 ayat 2 tersebut.

“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya