Komnas HAM Sebut 'Militer' Masih Hambat Pengungkapan Tragedi 1965

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut ada semacam penghalang besar dan kuat yang mencegah setiap upaya pengungkapan tragedi kemanusiaan sepanjang tahun 1965-1966, dampak peristiwa berlatar belakang kudeta yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI).

Kejaksaan Agung, dari satu periode jaksa agung ke jaksa agung lainnya, menurut Komnas HAM, selalu mementahkan setiap hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa G30S/PKI.

"Kalau kita baca komentar Jaksa Agung dalam beberapa wawancara, bahkan dia masih menganggap penyelidikan Komnas HAM itu 'unqualified' (tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan); bahkan dikatakan, itu cuma kumpulan kliping koran," Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam wawancara eksklusif dengan VIVA pada program The Interview di Jakarta, Senin, 29 Agustus 2022.

"Kadang-kadang saya geli juga, kalau cuma kliping koran, kenapa dilanjutkan ke penyidikan," ujarnya, menambahkan.

Monumen Pancasila Sakti

Photo :
  • ANTARA/Widodo S. Jusuf

Taufan memahami, masalah sesungguhnya bukan perkara teknis penyelidikan, melainkan kehendak politik seorang Jaksa Agung. Setiap Jaksa Agung, katanya, menghadapi "tembok besar impunitas di negara ini yang aparat penegak hukum tidak berani mendobraknya".

Dipertegas lagi maksud "tembok besar impunitas" itu, Taufan mengatakan, "kekuatan lama yang, menurut saya, masih ada di negeri kita, terutama kekuatan militer". Mereka, terutama yang kini telah pensiun tetapi dahulu diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, tidak dapat menerima jika ada pihak-pihak yang berupaya membongkarnya.

Jenderal progresif

Kenang Kebersamaan dengan SBY di Akmil, Prabowo: Beliau Terbaik, Saya Taruna Nakal

Taufan mengapresiasi langkah reformasi di TNI maupun Polri sejak era reformasi yang telah melahirkan generasi baru militer maupun polisi yang beradab dan profesional. Terbukti, katanya, banyak di antara perwira tinggi TNI maupun Polri, bahkan termasuk yang sampai menjadi panglima TNI atau kepala Polri, bersemangat pembaruan dan maju.

VIVA Militer: Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa

Photo :
  • YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa
Innalillahi, Letnan Jupriadi Mantan Perwira Terbaik Penerbangan TNI AL Meninggal Dunia

"Banyak juga jenderal-jenderal progresif mengatakan, 'Ya, tidak masalah, dalam rangka memperbaiki atau memperkuat institusi TNI itu sendiri, atau institusi Polri'," katanya.

Dia mencontohkan kebijakan maju Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa terhadap kasus-kasus kekerasan yang melibatkan sejumlah oknum tentara, misalnya di Papua, atau kasus kerangkeng manusia di Langkat, Sumatera Utara. Panglima bahkan mendorong aparat penegak hukum, begitu juga Komnas HAM, untuk mengusutnya hingga tuntas.

KSAL Muhammad Ali Lantik Laksma TNI Fauzi Jadi Danseskoal

"Panglima TNI, Pak Hadi dulu maupun Pak Andika, langsung gerak cepat meneruskan hasil temuan Komnas HAM. Saya bertemu Pak Hadi, juga Pak Andika, sikapnya sama: ayo tegakkan hukum," katanya.

VIVA Militer: Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto

Photo :
  • Puspen TNI

Andika Perkasa bahkan, pada Maret lalu, mengumumkan sekalian menegaskan bahwa warga keturunan simpatisan atau pegiat Partai Komunis Indonesia (PKI) boleh mendaftar menjadi prajurit TNI. Sebab, katanya, yang dilarang ialah ajaran komunismenya dan organisasinya, bukan orangnya, apalagi keturunannya.

Masalahnya, menurut Taufan, para perwira di TNI maupun Polri yang terkategori progresif jumlahnya tidak banyak dibandingkan mereka yang masih berpikir konservatif. Mereka yang konservatif menganggap setiap upaya pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai ancaman terhadap institusi mereka.

Kasus Ferdy Sambo

Begitu pula di institusi Kepolisian. Dalam contoh kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang melibatkan mantan kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Ferdy Sambo, saat itu berpangkat inspektur jenderal, mulanya tampak ada sejumlah oknum Polri yang menutup-nutupi fakta atas kasus tersebut.

Tetapi, setelah ada kehendak politik yang kuat dari Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, didukung Presiden Joko Widodo, misteri kasus tersebut terbongkar dan, sejauh ini, para tersangka pelaku utamanya diproses hukum.

"Kalau tidak ada kemauan untuk mendobrak itu, tidak akan dibongkar," katanya. Sebab, mereka yang berpandangan begitu, menganggap membongkar berarti meruntuhkan. Tetapi sebagian yang lain menilai itu justru akan menyehatkan Polri.

"Kalau ini dibongkar habis, ini justru akan menyehatkan Polri, membuat Polri lebih dipercaya oleh publik, membuat negara kita menjadi lebih aman, lebih adil," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya