Mengapa Gaji Pejabat Perlu Diatur UU

Seorang petugas bank menghitung uang rupiah.
Sumber :
  • Antara

VIVAnews - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI mengusulkan Rancangan Undang-undang untuk mengatur standarisasi gaji pegawai dan pejabat negara. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengatur soal itu, namun harus diperbarui.

Soal gaji itu, kata Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK, telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Pemerintah dan DPR sudah berencana mengganti UU No. 12 Tahun 1980 itu dengan menempatkannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009. Judul RUU-nya pun sudah dipersiapkan, yaitu RUU Protokol dan Hak Keuangan Pejabat Negara (RUU HKPN).

RUU HKPN diproyeksikan akan mengganti UU No. 12 Tahun 1980 di atas dan juga UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Sayangnya, RUU tersebut tidak sempat dibahas sama sekali, hingga kemudian diprogramkan kembali pada Prolegnas 2010-2014.

Ternyata, DPR dan Pemerintah membahasnya secara terpisah. UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol akhirnya menjadi UU No. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokoleran. Tinggal soal gaji, yang belum ada aturan baru.

Menurut Ronald, UU No. 12/1980 cukup rinci mengatur formula dan mekanisme pembayaran uang pensiun--bahkan ditempatkan dalam satu bab tersendiri. Sementara RUU HKPN justru mengalihkan semua pengaturan ketentuan hak pensiun pejabat negara melalui peraturan pemerintah.

RUU HKPN juga telah merumuskan tunjangan keluarga dan kesejahteraan, dua jenis tunjangan yang tidak ditemui pengaturannya pada UU No. 12/1980. Lebih lanjut mengenai dua tunjangan ini diatur melalui peraturan pemerintah.

PSHK mendukung perlu adanya UU yang mengatur soal gaji ini. "Merupakan hal yang wajar apabila keuangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD diatur oleh lembaga yang bersangkutan bersama dengan pemerintah atau pemerintah daerah," kata Ronald. "Sebab memang lembaga-lembaga itulah yang dapat mengetahui anggaran pembelanjaan yang ditentukan."

Namun, dia mengingatkan, celah penyalahgunaan kekuasaan akan selalu terbuka dalam prosedur pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tidak memberi peluang untuk melakukan pengawasan dari luar. Misalnya, masih ditemukan pengaturan hak keuangan yang sangat luas dan berpotensi disalahgunakan, misalnya  penggunaan kata “fasilitas lainnya”. 

"Ada kemungkinan muncul preseden seperti Keppres No. 60 Tahun 2003 tentang Uang Paket bagi Pimpinan dan Anggota DPR. Dalam Keppres tersebut, tidak dijelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan 'uang paket' itu," kata Ronald. (kd)

27 Korban Penipuan Investasi Rp52 Miliar Geruduk Rumah Orang Tua Pelaku di Tasikmalaya
PT Pos Indonesia (Persero) Salurkan Bansos dan PKH ke 2.500 Keluarga Penerima Manfaat

Bansos Sembako dan PKH Kembali Disalurkan, Pos Indonesia Wanti-wanti Ini

PT Pos Indonesia (Persero) kembali menyalurkan bansos sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH) kepada para Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024