Pakar: Sebaiknya DIY Pakai Monarki Konstitusi

Keraton Yogyakarta
Sumber :
  • jogjakini.com

VIVAnews - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, menilai ide menggabungkan sistem monarki absolut dan demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sesuatu yang tidak mungkin. Menurutnya, sistem yang paling tepat digunakan adalah monarki konstitusi, sistem yang berkembang di negara Eropa.

"Mau tidak mau harus ada pengurangan kewenangan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam sebagai pemimpin simbolik dengan memperkuat peranan politisi yang bertanggung jawab secara politik," kata Maswadi saat rapat dengan Komisi II DPR, di Gedung DPR, Kamis 17 Februari 2011.

Menurutnya, sudah tepat untuk tidak menjadikan Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam sebagai politisi yang memiliki tanggung jawab politik. Peranan mereka sebagai gubernur dan wakilnya harus diserahkan kepada politisi.

Oleh karena itu, lanjut Maswadi, perlu jabatan baru bagi Sri Sultan dan Sri Paku Alam yang disebut sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Dengan demikian, kedua pejabat tersebut dapat terhindar dari kemelut politik. "Termasuk kritik yang pedas dari DPRD dan masyarakat, serta impeachment yang diusulkan DPRD," ujarnya.

Menurutnya, sangat tidak layak seorang pemimpin tradisional seperti Sri Sultan dan Sri Paku Alam dicerca dan dikritik sebagai politisi yang biasa terjadi dalam alam demokrasi.

Maswadi menjelaskan, pertumbuhan demokrasi di Eropa menyebabkan negara di benua biru itu berubah sistem. "Pertumbuhan demokrasi menyebabkan perlu diadakan perubahan pada monarki absolut karena beberapa negara seperti Inggris ingin tetap mempertahankan sistem monarki sekaligus menyebarkan demokrasi," jelasnya.

Menurutnya, di Inggris pertumbuhan demokrasi menyebabkan berubahnya monarki absolut menjadi monarki konstitusional. "Hal ini menjadikan Inggris sebagai salah satu model pemerintahan demokratis yang dikenal sebagai sistem parlementer," ujarnya.

Dalam sistem monarki konstitusional, lanjut dia, memberikan tempat terhormat bagi raja atau ratu namun tidak lagi mempunyai kekuatan politik. Monarki konstitusional memperkecil peranan raja atau ratu di bidang politik dan memperbesar kekuasaan perdana menteri dan parlemen.

Raja atau ratu diberi kekuasaan yang sifatnya simbolis untuk menghormati kedudukannya yang istimewa di masyarakat yang merupakan warisan masa lalu. Dalam sistem ini, raja atau ratu menjadi institusi politik di bawah konsep 'The king can do or wrong'. "Artinya, dia tidak dapat dipersalahkan secara politik karena dia tidak memegang tanggung jawab politik," ujarnya. (umi)

TikToker Galih Loss Resmi Ditahan, Terancam Hukuman Penjara 6 Tahun
Herjuniot Ali

Cerita Herjunot Ali yang Sudah 20 Tahun Jadi DJ

Lebih lanjut, Herjunot Ali menuturkan bahwa menjadi seorang DJ memberinya sensasi yang berbeda dibandingkan dengan akting. 

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024