- Dokumen pribadi
VIVAnews - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota semakin alot. Penentuan angka ambang batas parlemen atau parliamentary treshold masih menjadi tarik ulur.
Angka kompromi 3 persen yang sempat mengerucut dalam pembahasan di Badan Legislasi kembali dipermasalahkan. Golkar dan PDIP bersikukuh pada posisi 5 persen. Demokrat dan PKS memilih angka 4 persen. Sisanya, mempertahankan angka pada Pemilu 2009 lalu yakni 2,5 persen.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, menyoroti desakan sejumlah fraksi yang ngotot meningkatkan angka ambang batas.
Menurut dia, dengan pemberlakuan nilai ambang batas yang tinggi, akan berakibat negatif bagi bangsa dan negara. "Akan banyak suara sah hasil pemilu yang hilang," kata Viva dalam perbincangan dengan VIVAnews.com di Jakarta.
Menurut dia, Pemilu 2009 yang menerapkan 2,5 persen saja, suara sah yang hilang mencapai 18 persen suara nasional, atau setara dengan 18 juta suara. Kalkulasinya, kalau diterapkan 5 persen, maka suara sah hilang sekitar 32 persen atau sekitar 32 juta suara.
"Suara hilang tidak akan dapat dikonversikan menjadi kursi, sehingga menurunkan tingkat representasi rakyat di pemilu. Suara sah yang hilang itu belum termasuk suara yang tidak sah karena kesalahan pencontrengan," ujar anggota Badan Legislasi itu.
Viva menuturkan, substansi penentuan ambang batas bertujuan untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang ikut pemilu. Dengan asumsi, jumlah parpol sedikit akan mengefektifkan dan menstabilkan pemerintahan presidensial. Menurut dia, asumsi ini tidak sepenuhnya benar.
Bagi Viva, efektivitas dan stabilitas pemerintahan presidensial tidak ditentukan oleh jumlah partai politik, tetapi ditentukan oleh perbedaan ekstrim ideologi politik parpol. "Misalnya, parpol yang berideologi agama versus komunisme," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PAN itu menilai, efektivitas dan stabilitas pemerintahan presidensial juga ditentukan oleh kepemimpinan yang kuat. "Tanpa itu, maka pemerintahan akan rapuh dan bad government," ujarnya.
Viva mengajak partai yang ngotot menaikkan angka ambang batas parlemen jadi 5 persen mempertimbangkan hal itu. Menurut dia, berapa nilai angka ambang batas yang ideal bagi bangsa Indonesia tidak ada di buku teori. "Tapi harus memperhatikan prinsip pluralisme, kebinekaan, regenerasi, dan menciptakan pemilu yang berkualitas," ujarnya.
Dia khawatir kalau dipaksakan menjadi 5 persen, akan menghilangkan nilai pluralisme. Karena partai adalah representasi dari kondisi struktur sosial masyarakat yang majemuk: beragam agama, suku, adat, kepentingan, dan golongan.
Kebinekaan nilai primordial inilah yg menjadi tali pengikat persatuan Indonesia. Kalau ruangannya dipersempit maka jelas akan mematikan demokrasi dan pluralisme.
"Jangan sampai ada persepsi masyarakat bahwa partai besar akan menghilangkan nilai kebinekaan atau menutup proses regenerasi partai lain karena pemberlakuan nilai ambang batas 5 persen. Bagaimana mungkin parpol-parpol baru sanggup berkembang bila langsung dimatikan melalui ambang batas," ujarnya. (art)