- etan.org
VIVAnews - Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mengatakan tujuan membentuk negara membentuk masyarakat yang tata tentrem kertarahaja. Namun, saat ini negara belum memberikan jaminan hukum, tidak ada tata, tidak ada ketentraman, dan tidak ada tata raharja.
"Hukum yang harusnya menjaga ketertiban, sekarang menjadi komoditas. Tatkala penegak hukum masuk menjadi transaksi, maka tidak bisa menjadi penyelamat," katanya saat menjadi pembicara kunci seminar nasional "Mengupas permasalahan bangsa; diskursus melalui pendekatan kepemimpinan" di DPR, Jumat 22 Juli 2011.
Menurut dia, situasi itu memunculkan paradoks antara tujuan dan realita. Dia mencontohkan, kultur kebersamaan saat ini dirubah menjadi individualisme. "Paradoks lain presidensiil tapi kabinet parlementer," kata Wiranto.
Wiranto juga menyentil kepemimpinan nasional. Dia menilai kepemimpinan nasional lemah. "Kita butuh pemimpin yang berani tegas dan jujur, realitanya kebalikannya. Pemimpin harusnya mengabdi, realitanya pemimpin menjadi raja kecil, raja besar, minta dilayani, minta diistimewakan," sindir Wiranto.
Wiranto menilai situasi paradoks itu harus diubah. Menurutnya, perubahan harus dilakukan. Tidak hanya diteriakkan. "Harus ada perubahan, tidak hanya diteriakkan, harus ada gerakan yang kuat. Pemimpin harus bebas dari kepentingan pribadi dan kelompoknya. Niatnya hanya mengabdi," kata mantan Panglima ABRI ini.
Wiranto melanjutkan, kalau pemimpin tidak memenuhi amanat menyejahterakan rakyat, harus didesak agar berubah. "Bangsa yang besar jangan disandera pemimpin yang lemah," kata Wiranto.
Wiranto menilai, bangsa Indonesia sedang tersandera sistem sendiri karena pemimpin yang lemah. "Harus ada konstitusi pemimpin yang gagal tidak mampu, bisa diganti," kritik Wiranto.