Pengamat: Biaya Politik yang Tinggi Menyuburkan Korupsi

Ilustrasi/Penolakan praktik politik uang atau money politic.
Sumber :
  • Antara/ Eric Ireng

VIVAnews - Biaya politik yang tinggi dalam proses pemilihan umum menjadi beban yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Akibatnya, korupsi semakin marak dan sulit diberantas.

Ada Apa di Kota Isfahan Iran yang Baru Saja Diserang Israel?

Demikian penilaian pengamat politik asal Universitas Indonesia (UI), Donny Tjahja Rimbawan, dalam diskusi terbatas Institut Transparansi Kebijakan (ITK). Diskusi berlangsung di Cikini, Jakarta, hari ini.

"Saat ini semua calon terpilih baik untuk legislatif maupun kepala daerah berupaya untuk mengembalikan biaya politik yang besar, salah satu caranya dengan melakukan korupsi. Karenanya korupsi akan semakin marak dan sulit diberantas," kata Rimbawan.

Rimbawan mengkalkulasi, dalam pengelolaan partai politik saja selama lima tahun biaya yang harus dikeluarkan oleh Parpol berkisar Rp188,700 Milyar untuk keberadaan kantor parpol di Kabupaten/Kota dan Ibu kota Provinsi.

"Biaya lebih besar juga dikeluarkan oleh para Caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD, setidaknya jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp160,120 Trilyun," papar Rimbawan.

Dalam pemilihan kepala daerah baik untuk menjadi Bupati, walikota maupun Gubernur biaya yang dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa.

"Untuk pemilihan kepala daerah setidaknya dana yang gelontorkan diseluruh Indonesia mencapai Rp.23,180 Trilyun, dengan perhitungan seorang calon Gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp.25 Milyar dan seorang calon Bupati / walikota mengeluarkan dana berkisar Rp.10 Milyar," terangnya.

Ajang lima tahunan pemilihan Presiden juga tidak kalah hebatnya dengan dana yang dibutuhkan oleh para Capres. Seorang capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia. Sehingga, total dana yang keluarkan sebagai biaya politik selama lima tahun mencapai Rp190,488 triliun.

Ngeri Peringatan Terbaru Iran kepada Israel, Mulai Sebut Nuklir

"Dana sebesar ini tidak sebanding dengan nilai demokrasi yang seharusnya mensejahterahkan rakyat Indonesia," tambahnya.

Perubahan Sistem

KPU: Caleg Terpilih Harus Mundur Jika Maju Pilkada 2024

Menurut Rimbawan, jika sistem Demokrasi seperti ini tetap dipertahankan dan diteruskan, maka rakyat Indonesia hanya disibukkan dengan proses politik yang tidak henti-hentinya. Sebab, sekarang pemilu sudah ada dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan Presiden, energi rakyat terkuras hanya untuk menjalankan proses politik, pembangunan sosial ekonomi dan sektor lainnya akhirnya terlupakan.

Diungkapkannya, proses politik dengan sistem pemilihan langsung yang terjadi saat ini justru telah keluar dari landasan negara kita yakni Pancasila. "Dalam sila ke-4 secara jelas menegaskan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ini mengandung pengertian pemilihan pemimpin bukan dipilih secara langsung tapi dipilih melalui perwakilan," urainya.

Dicontohkannya, pemilihan kepala daerah dan Presiden seharusnya dipilih oleh DPRD untuk kepala daerah dan Presiden dipilih oleh MPR, "Sistem yang ada di zaman orde baru sudah tepat, pemilihan hanya ditujukan untuk wakil rakyat yakni DPRD dan DPR RI," paparnya.

Dengan menyederhanakan sistem pemilihan ini, sudah tentu biaya yang dikeluarkan juga lebih minimal yang akhirnya berdampak pada upaya menekan perilaku koruptif penguasa dan anggota legislatif terpilih. (ren)

PO Bus Borlindo

Sopir Bus yang Ajak Makan 30 Penumpang di Rumah Mertuanya saat Lebaran dapat Rp100 Juta

Sopir bus bernama Satir Tajuddin sempat viral karena mengajak seluruh penumpang makan di rumah mertuanya saat hari lebaran. Kini, Satir dikabarkan mendapat banyak donasi.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024