- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Mahkamah Konstitusi menganulir larangan "politik dinasti" dalam pemilihan kepala daerah. Mahkamah menilai ketentuan yang sebelumnya masuk dalam UU Pilkada itu bertengangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan.
Menurut Ketua Mahkamah MK Arief Hidayat, permasalahan "politik dinasti" sebenarnya bukan pada Undang Undang (UU) tapi lebih kepada pengawasan.
"Bagaimana petahana bisa memanfaatkan posisinya dalam hal kebijakan dan anggaran, dari pengawasannya," kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Kamis 9 Juli 2015.
Arief membandingkan dengan negara demokratis lain, Amerika Serikat yang mengizinkan setiap warga negara berhak mencalonkan diri ikut pilkada. Ia menjelaskan UU mempunyai satu prinsip, yakni kepastian hukum berkelanjutan. "Konstitusi, sekali diubah, aturan yang lain juga diubah," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan larangan "politik dinasti" dalam pencalonan kepala daerah adalah inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan "politik dinasti" yang dinyatakan inkonstitusional adalah terkait ketentuan yang melarang warga negara untuk menjadi calon kepala daerah karena statusnya memiliki hubungan yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Yang dimaksud memiliki konflik kepentingan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.