Peristiwa Luar Biasa di Parlemen Indonesia Tahun Ini

Setya Novanto bersama Ade Komarudian saat Setya ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2019.
Sumber :
  • ANTARA/Zabur Karuru

VIVA.co.id – Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat bahwa sepanjang tahun 2016 terdapat peristiwa politik yang sangat luar biasa di parlemen, yakni soal pergantian pimpinan DPR.

Tantangan Berat, Setjen dan BK DPR Dorong Pemuda Optimis Bangun NKRI

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyatakan, pergantian pimpinan DPR yang terjadi dua kali sepanjang tahun ini adalah sejarah langka dalam panggung politik di Indonesia. Menurutnya, sejak rezim Orde Baru hingga masa Reformasi, sejarah pergantian pucuk pimpinan DPR terjadi dua kali, hanya ada di periode DPR tahun 2014-2019.

"Dan uniknya pergantian keduanya baik Setya Novanto maupun Ade Komarudin rutin didahului dengan  MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) karena dugaan pelanggaran kode etik," kata Lucius di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Kamis 22 Desember 2016.

DPR Minta Insiden Pembakaran Polsek Bendahara Tidak Terjadi Lagi

Uniknya, lanjut Lucius, keduanya berasal dari partai politik yang sama yakni Partai Golkar. Pergantian pimpinan parlemen itu juga erat dengan adanya perbedaan kebijakan keduanya. Ketika Ade Komarudin menggantikan Setya Novanto pada awal tahun 2016 lalu, pria yang akrab disapa Akom itu mengubah kebijakan Setya Novanto dengan mengeluarkan kebijakan memangkas masa reses yang sebelumnya satu bulan menjadi dua minggu.

Selain itu, Ade juga mengeluarkan kebijakan memperpanjang waktu sidang, memperketat kunjungan ke luar negeri, mengecek langsung daftar hadir anggota DPR dan menetapkan target menyelesaikan tiga RUU bagi setiap komisi setiap tahun.

Bamsoet: Anggaran Pendidikan APBN 2019 Harus Bawa Kemajuan

Pada saat Setya kembali menduduki kursi pimpinan DPR, kebijakan Ade itu kembali diubah. Saat ini Setya kembali memperlakukan masa reses anggota DPR selama satu bulan. Tidak hanya itu, menurut Lucius, dia juga membuka kesempatan yang lebih luas untuk kunjungan luar negeri.

"Jadi DPR sampai sekarang itu tidak memiliki sistem kebijakan yang kuat karena bisa diubah sewaktu-waktu sesuai dengan selera Ketua DPR. Jadi DPR itu suka-suka pimpinan dalam mengambil kebijakan," ujarnya.

Kendati demikian, Lucius tidak menafikan bahwa kembalinya seseorang yang sudah mengundurkan diri dari jabatannya, tidak menyalahi prosedur. Dalam sistem politik di parlemen Indonesia, tidak pernah ada larangan seseorang menduduki jabatan yang pernah dijabat sebelumnya.

"Namun secara fatsun politik, jika ada seseorang mengundurkan diri dari jabatan publik karena memiliki alasan yang kuat mestinya secara moral tidak mungkin kembali ke jabatannya itu," kata peneliti tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya