Buruh Tegaskan Aturan Ini Terang-terangan Bakal Mematikan IHT Nasional

Bea Cukai dan DPRD Jawa Timur membahas rencana aturan pertembakauan
Sumber :
  • Bea Cukai

Jakarta, VIVA – Gelombang protes atas diterapkannya PP 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terhadap Industri Hasil Tembakau terus bergulir.

Mengapa Usaha Bulion Bisa Menjadi Game Changer dalam Industri Emas? Menyingkap Potensi Hilirisasi Emas yang Tersembunyi

Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menyebut bahwa secara nyata aturan itu dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. Apalagi saat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan.

"Kebijakan ini secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. Ada kurang lebih 226 ribu tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait yang akan terkena dampak dari regulasi tersebut," kata Sudarto dikutip dari keterangannya, Selasa, 14 Oktober 2024.

Printer Ini Dibanderol Seharga Rp140 Jutaan, Apa Kelebihannya?

Setiap tahunnya dialokasikan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT)

Photo :
  • Bea Cukai

Dirinya pun menyesalkan karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak pernah melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal tembakau RPP Kesehatan. Padahal, produk tembakau adalah produk legal yang diakui negara.

Daftar Negatif Investasi Sisa 6 Industri, Anindya Bakrie: Kita Mesti Jaga Wibawa

“Dan sektor IHT juga telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara dan menyerap jutaan tenaga kerja," ungkapnya.

Karena itu, dirinya meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai telah mengkhianati amanah UU Kesehatan yang sama sekali tidak melarang produk tembakau.

Sudarto menilai menilai aturan produk yang telah berlaku saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau. "Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif," katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad. Dirinya menilai kebijakan terkait industri rokok sehubungan dengan aturan-aturan yang tertera pada PP 28/2024 dan RPMK, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan. 

Menurutnya, jika aturan ini dilaksanakan maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari PDB. Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. 

"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja," katanya.

Dijelaskan Tauhid, kebijakan PP 28/2024 serta RPMK perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT), bukan hanya pelaku usaha, namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat.

Warga menjemur tembakau di Desa Tuksongo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah

Photo :
  • ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana negara-negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta memiliki kontribusi pajak rokok yang relatif rendah.

Tauhid mengungkapkan bahwa pihaknya (Indef) memberikan rekomendasi agar pemerintah melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK. Terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif terhadap penerimaan dan perekonomian negara. 

Selain itu, Indef juga mendorong terjadinya dialog antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang berkepentingan dengan IHT, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya