Pemerintah Dinilai Punya Kemampuan Turunkan HET MinyaKita ke Rp 14.000 per Liter, Ini Penjelasannya

Minyakita susah dicari di Pasar Cisalak, Depok
Sumber :
  • Rahmad Ari Prakoso (Depok)

Jakarta, VIVA – Minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang harganya di Indonesia belakangan terus cenderung mengalami lonjakan yang signifikan, termasuk selama bulan Ramadan. Fenomena ini setiap tahun terus berulang yang membuat beban hidup rakyat semakin berat.

Honda Freed vs Toyota Sienta: Perbandingan Harga Bekas dan Pajak Tahunan 2025

Harga minyak goreng di sejumlah minimarket dan pasar tradisional saat ini cukup tinggi. Lonjakan harga ini terjadi menyusul mulai naiknya harga minyak sawit di dalam negeri di tengah ketidakpastian ekonomi.

Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri menyoroti di tengah semakin lesunya daya beli masyarakat akibat himpitan ekonomi. Masyarakat berhak mendapat minyak goreng dengan harga yang terjangkau melalui program mintak goreng merek MinyaKita.

3 Blok Migas Dilelang di IPA Convex 2025, ESDM: Harganya Lebih Murah

Dia menegaskan, secara teori, pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan kembali Harga Eceran Tertinggi (HET) harga MinyaKita ke Rp14.000 per liter, tetapi hal tersebut membutuhkan kebijakan intervensi yang lebih kuat, baik dalam bentuk subsidi tambahan, penguatan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

“Mau pun pengurangan biaya produksi melalui insentif fiskal,” kata Freesca dalam keterangannya kepada awak media di Jakarta, Rabu, 19 Maret 2025.

Daftar Harga Pangan 16 Mei 2025: Daging Ayam dan Minyak Goreng Curah Naik

Pengamat Ekonomi UPNVJ Freesca Syafitri.

Photo :
  • Istimewa.

Namun menurutnya, jika langkah ini tidak diimbangi dengan reformasi distribusi dan pengawasan yang lebih ketat, maka risiko kelangkaan dan spekulasi akan tetap tinggi. Kebijakan harga minyak goreng harus dilakukan secara hati-hati, mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli masyarakat, keberlanjutan industri, dan stabilitas fiskal negara. 

Menurut Freesca, jika pemerintah ingin menjadikan MinyaKita tetap terjangkau bagi masyarakat, maka pendekatan terbaik bukan hanya menurunkan HET. Tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok, menekan biaya produksi, serta memperbaiki mekanisme distribusi agar minyak goreng benar-benar tersedia bagi semua kalangan.

Di sisi lain dia juga mencermati industri minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia dikuasai segelintir perusahaan besar yang mengendalikan seluruh rantai pasok, dari perkebunan hingga distribusi.

“Struktur pasar oligopoli ini memungkinkan mereka memanipulasi harga, sementara petani kecil terpinggirkan dengan harga jual rendah,” kata Freesca.

Ia menilai fokus ekspor yang lebih menguntungkan korporasi sering kali mengorbankan pasokan domestik, memicu kelangkaan dan lonjakan harga yang membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.

“Lemahnya regulasi memperkuat praktik kartel dan monopoli, memungkinkan perusahaan besar menghindari sanksi meskipun terbukti mengendalikan harga,” tambah Freesca.

“Reformasi tata kelola industri menjadi keharusan, dengan regulasi ketat untuk membatasi dominasi korporasi, meningkatkan transparansi rantai pasok, serta memberikan insentif bagi petani kecil,” tambah dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan menyebutkan sejumlah alasan di balik praktik curang pengurangan volume Minyakita oleh distributor dan perusahaan pengemasan (repacker) yang berujung pada lonjakan harga di pasaran.

Menurutnya, salah satu faktor utama adalah keterbatasan akses terhadap minyak goreng dari skema Domestic Market Obligation (DMO). "Bisa jadi para repacker yang mengurangi volume itu tidak mendapatkan minyak DMO," kata Iqbal kepada wartawan di Kemendag, Jakarta, Selasa (18/3/2025).

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iqbal Shoffan Shofwan

Photo :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Distribusi minyak goreng rakyat itu, lanjut Iqbal, bergantung pada kesepakatan antara produsen dan repacker melalui mekanisme bisnis ke bisnis (B2B), yang sepenuhnya bersifat komersial. Artinya, tidak semua repacker bisa memperoleh pasokan minyak DMO, sehingga ada kemungkinan mereka mencari cara lain untuk tetap memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita, termasuk dengan mengurangi volume atau menggunakan minyak komersial.

"Mengapa mereka tidak mendapatkan minyak DMO? Karena ini kan tergantung produsennya, mau kerja sama dengan repacker yang mana. Ini kan mekanismenya B2B dan murni skema komersial," ujar Iqbal menerangkan.

Ia menyebutkan akibat dari penggunaan minyak komersial dalam produk MinyaKita, harga di pasaran bisa melonjak hingga Rp17 ribu-Rp18 ribu per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter. "Karena minyak komersial kan enggak diatur. Kalau MinyaKita, DMO itu kan diatur. Dari produsen ke distributor satu (D1) Rp13.500, dari D1 ke distributor dua (D2) Rp14 ribu, lalu ke pengecer Rp14.500, dan ke konsumen Rp15.700. Itu yang kami atur," jelasnya.

Sedangkan terkait kemungkinan kenaikan HET MinyaKita, Iqbal memastikan keputusan tersebut masih dalam tahap evaluasi. Dia mengatakan, penentuan HET tidak hanya dilakukan oleh Kemendag sendiri, tetapi juga melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk produsen, distributor, dan repacker.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya