Penting Dalam Proses Legalitas, Pahami Kewajiban BPHTB saat Jual Beli Properti
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Jakarta, VIVA – Setiap transaksi atas tanah dan bangunan membawa konsekuensi perpajakan yang perlu diperhatikan. Salah satu yang wajib diketahui oleh masyarakat maupun pelaku usaha adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Bapenda Jakarta, Morris Danny, pajak ini merupakan bagian penting dalam proses legalitas jual beli properti di wilayah DKI Jakarta.
Adapun Ketentuan mengenai BPHTB telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menjadi implementasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
"BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik melalui transaksi komersial maupun peristiwa hukum lainnya," jelas Morris dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 April 2025.
Ia menjelaskan, perolehan tersebut mencakup jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, lelang, dan putusan hukum yang berdampak pada perubahan hak atas tanah atau bangunan.
"Objek pajak mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan," jelasnya.
Diutarakan Morris, ada beberapa kondisi yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB. Di antaranya adalah perolehan oleh negara atau pemerintah daerah untuk keperluan umum, perolehan oleh badan internasional yang tidak menjalankan usaha, dan perolehan pertama rumah sederhana atau rumah susun sederhana oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kemudian, perolehan karena wakaf dan juga perolehan untuk kepentingan ibadah.
Ilustrasi pajak.
- Freepik
Terkait tarif BPHTB, Morris menuturkan, bahwa di DKI Jakarta ditetapkan sebesar 5 persen dari nilai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Sebagai contoh, perolehan hak sebesar Rp 1.000.000.000 atau Rp 1 miliar dan NPOPTKP sebesar Rp 250 juta maka perhitungan BPHTB adalah: (Rp1.000.000.000 – Rp250.000.000) × 5% = Rp37.500.000.
"BPHTB menjadi terutang pada saat terjadi perolehan hak, seperti penandatanganan akta jual beli, hibah, atau tukar-menukar, pendaftaran warisan, penetapan pemenang lelang, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," tuturnya.
Pemungutan BPHTB dilakukan di wilayah administrasi tempat objek tanah atau bangunan berada. Jika objek berada di wilayah DKI Jakarta, maka kewajiban pembayarannya pun dilakukan di Jakarta.
"Selain sebagai kewajiban hukum, BPHTB merupakan bentuk kontribusi nyata masyarakat terhadap pembangunan daerah. Pajak ini menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik," katanya.
Untuk itulah, [emahaman yang baik tentang kewajiban BPHTB akan membantu memperlancar proses transaksi properti, sekaligus menghindari potensi kendala administratif maupun sanksi hukum di kemudian hari.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya meningkatkan literasi perpajakan masyarakat melalui berbagai program edukasi dan sosialisasi."