-
VIVA – Ucapan “Selamat menempuh hidup baru” sering kali hanya ditujukan kepada mereka yang tengah berbahagia menyatukan janji dalam ikatan pernikahan. Sebaliknya, tak ada ucapan serupa bagi mereka yang pada akhirnya memutus ikatan pernikahan alias bercerai.
Yang ada malah tatapan rasa prihatin hingga sinis dan cemoohan dari tetangga, teman, bahkan keluarga. Padahal, orang yang bercerai juga berhak bahagia karena sudah berani menempuh jalan untuk memasuki babak baru kehidupan setelah resmi berpisah.
Namun, selama ini banyak orangtua yang tidak terima kalau anaknya bercerai. Alih-alih mendukung keputusan anak, orangtua kadang malah sibuk memarahi agar si anak bertahan, seburuk apapun kehidupan dalam rumah tangga.
Orangtua merasa takut dan malu kalau nanti dianggap oleh masyarakat sebagai orangtua yang tak mampu ‘mendidik’ anak. Itulah mengapa si anak sering kali diminta untuk sabar… sabar… sabar… entah sampai kapan.
Tak sedikit perempuan remuk redam secara fisik terlebih psikis karena berusaha bertahan hanya karena tidak mau membuat orangtuanya kecewa. Padahal, rumah tangganya bagai neraka.
Bicara tentang pernikahan, suka atau tidak, mesti sepaket dengan perceraian. Keduanya saling berkaitan. Seperti halnya siang dan malam, awal dan akhir.
Memang betul, kalau dilihat dari sisi agama, tidak ada yang menyukai perceraian. Katolik, misalnya, jelas sekali hukumnya: “…apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Tetapi, dalam kehidupan yang fana ini, kita tentu hanya bisa berencana, bukan? Maunya sih bisa langgeng, tapi kalau di tengah jalan semisal suami ternyata abusif, bagaimana? Selayaknya pernikahan, perceraian juga merupakan pilihan. Pernikahan dan perceraian adalah sama-sama gerbang menuju kehidupan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.