-
VIVA – Nenek Muntiah terlihat kurus kering. Beliau terlantar tanpa sanak famili di dalam sebuah gubuk. Ketika sosok Nenek Muntiah ramai diperbincangkan, beliau sedang kelaparan. Rambut putihnya seperti manifestasi kehidupan yang kejam.
Segera saja kabar Nenek Muntiah menjadi viral di media sosial. Banyak orang yang menyampaikan simpati. Beberapa mengutuki peran keluarga yang menelantarkan Nenek Muntiah. Sebagian memohon agar pemerintah setempat memperhatikan nasib Nenek Muntiah. Sisanya menyalahkan negara yang abai pada kesejahteraan rakyatnya.
Apa yang saya sampaikan di atas adalah bukti kejamnya konstruksi sosial Indonesia. Tanpa perlu menunjuk satu dua pihak, berbalas simpati dan opini yang tersaji adalah sampel nyata dari apa yang saya maksud. Ya, konstruksi sosial masyarakat kita sudah dalam fase kehilangan batas antara subjek dan objek.
Kasus Nenek Muntiah juga menunjukkan bahwa manusia hari ini tidak lebih sebagai roda gigi. Menjadi objek penggerak roda peradaban dan segenap konsep sosial yang kehilangan karakter manusia. Semua beroperasi dan melupakan bagaimana manusia hidup sebagai bagian dari ekosistem.
Kasus seperti Nenek Muntiah bukanlah kali pertama lansia terlantar dan kesulitan untuk bertahan hidup. Silakan buka media sosial Anda dan saksikan kasus serupa berikut romantisasi ketimpangan sosial. Ada kakek yang mengayuh sepeda menjajakan balon yang tak laku.
Ada sepasang suami istri yang hidup dari nasi aking. Banyak sekali kasus ketimpangan yang dialami lansia, namun dipandang dari sudut pandang memuakkan. Saya ingin membahas sampai cacat logika teori Malthusian hari ini.
Namun izinkan saya untuk fokus pada perkara lansia. Dan mari kita telaah bagaimana konstruksi sosial menempatkan lansia sebagai sampah peradaban. Lansia dikotak-kotakkan sebagai anggota masyarakat non produktif. Namun tidak ditempatkan sebagaimana manusia. Mereka terlantar sebagai kewajaran dalam masyarakat, di mana manusia non produktif tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.