-
VIVA – Agama banyak sekali berbicara tentang cinta. Mulai dari cinta kepada sang entitas yang disembah, kepada sesama manusia, alam raya, bahkan sesama makhluk hidup. Ironisnya, agama tak menerima cinta berlainan kepercayaan ke dalam hubungan paling sakral—yakni pernikahan.
Ulam selalu datang mana kala Cinta berjarak begitu lebar. Ulam tak pernah marah. Ulam tak pernah mundur. Pun Ulam tak pernah berkerut manakala Cinta tiba-tiba menjauh kepadanya. Ulam adalah “pengejar” paling baik di muka bumi ini, sedang Cinta adalah orang yang paling layak untuk “dikejar”.
Sungguh nahas, Ucuk datang dalam kehidupan mereka. Jadilah pucuk dicinta, ulam pun tiba. Bunga bermekaran, bumi sumringah tiada tara, sebelum ayat-ayat masuk mengganjal cinta kecil di muka bumi. Stigma-stigma adalah jegalan nyata kedua insan yang ingin bercinta.
Jarak tercipta, arak adalah pilihan nyata setelahnya.
Jutaan manusia tinggal di bumi, maka jutaan tafsir perihal cinta hadir hilir mudik. Cinta tak turun dari langit bak agama samawi, cinta tak datang dari satuan ruang dan waktu yang khusus, cinta tak melulu hadir dari libido gelora Hades, cinta itu datang dari sisi marjinal dan akar rumput, cinta muncul dari ketiadaan, apa lagi? Ada tambahan definisi dari cinta?
Banyak sekali cinta dengan penyematan definisi yang lucu, melankolik, prematur, sampai yang terkesan bodoh. "cinta—dengan "c" kecil, dalam kasus cinta kepada person lain—adalah bahan bakar pemantik kebodohan," ujar alim kepada saya suatu ketika. Saya hanya diam dan mendengar omong kosongnya yang bahkan terlalu metafisik untuk ditelaah.
Omongan mentah itu, lebih layak ditelaah melalui retrokognisi ketimbang interpretasi. Bukan hanya mentah, bahkan mengatakan "cinta" sebagai pemantik kebodohan adalah sebuah pengkhianatan besar-besaran bagi mereka yang malang melintang merasakannya--kecuali si Romeo, yang terlanjur menenggak racun mematikan tanpa merasakan bagaimana enaknya Arak bayan.
"cinta—masih dengan "c" kecil, karena kita sedang membicarakan cinta kepada person lain, baik sesama jenis maupun berlainan—adalah sesuatu yang tak bisa disebut berdimensi dan berbentuk.
Sekalipun cinta dapat dimanifestasikan ke dalam sebuah tindak dan tanduk," jawab saya. "Kalau mau merealisasikan cinta secara nyata, aplikasikan kepada pikiran dan indera secara adil. Jangan angkat kepada salah satu ranah secara tidak berimbang."
Ia lantas marah, berlalu. Ya, yang saya maksud ini adalah kader Indonesia Tanpa Pacaran yang mengajak saya masuk dengan membayar sejumput rupiah. Kasihan dia, belum mendapat cinta, sudah bodoh dengan begitu nyata.