Reinkarnasi Prancis 1998 di Rusia

Prancis lolos ke Final Piala Dunia 2018
Sumber :
  • REUTERS/Henry Romero

VIVA – Prancis berpotensi menyabet gelar juara dunia kedua. Mereka sudah menembus final Piala Dunia 2018, usai mengalahkan Belgia di St Petersburg Arena dengan skor tipis, 1-0.

Media Korsel Sorot Timnas Indonesia: Senjata Paling Berbahaya Mereka Adalah STY

Tak mudah bagi Prancis untuk lolos ke final Piala Dunia 2018. Mereka harus melewati adangan Belgia, yang juga jadi favorit.

Laga ketat harus dilakoni oleh Prancis, Selasa 10 Juli 2018 atau Rabu dini hari WIB. Belgia benar-benar menguasai jalannya laga.

Momen STY Dilempar Telur Kembali Viral Jelang Indonesia vs Korsel, Warganet: Buktikan Coach

Secara keseluruhan, Belgia mencetak 60 persen penguasaan bola. Sisanya, ada di Prancis.

Yang menarik, justru Prancis bisa mencetak gol ke gawang Belgia. Umpan Antoine Griezmann di menit 51, mampu dieksekusi lewat tandukan maut Samuel Umtiti.

Target Tinggi Thierry Henry Bersama Timnas Prancis di Olimpiade 2024

Thibaut Courtois tak berdaya. Prancis pun unggul 1-0, hingga laga berakhir.

Sebenarnya tak heran jika Prancis bisa menang atas Belgia. Ditinjau dari tipe bermain, keduanya sama.

Baik Prancis maupun Belgia, merupakan tim yang adaptif dengan strategi lawan. Masing-masing pelatih mengandalkan taktik kompleks demi bisa memenangkan laga.

Hanya saja, Prancis lebih oportunis ketimbang Belgia. Lewat sifat natural yang mereka miliki, Belgia benar-benar dibuat kesulitan.

Lihat saja statistik akhir dari pertandingan ini. Meski Belgia menguasai jalannya laga, justru Prancis yang lebih banyak ciptakan peluang.

WhoScored mencatat, ada 19 percobaan untuk mencetak gol yang dilakukan Prancis. Sedangkan, Belgia cuma bisa membuat peluang sebanyak sembilan kali, padahal mereka memiliki penguasaan bola yang jauh lebih banyak.

Dan, kesalahan kecil Belgia yang terjadi lewat sepak pojok di menit 51, bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Prancis untuk mengunci kemenangan di laga ini.

Perancis vs Belgia

"Partai yang begitu ketat. Tak banyak momen besar tercipta untuk menentukan hasil laga. Perbedaannya, hanya dalam situasi bola mati. Itu membuktikan seberapa ketatnya duel ini," kata pelatih Belgia, Roberto Martinez, dilansir situs resmi VIVA.

Martinez mengakui kokohnya lini belakang Prancis. Para pemain depan yang dimilikinya macam Eden Hazard, Romelu Lukaku, dan Kevin De Bruyne, benar-benar dibuat stres oleh Raphael Varane Cs.

"Hingga kami tak bisa menemukan keajaiban di depan gawang lawan. Atau, setidaknya sedikit keberuntungan," terang Martinez.

Beda dengan Martinez, pelatih Prancis, Didier Deschamps justru merasa kemenangan tim asuhannya lebih dikarenakan adanya kesalahan taktik Martinez.

Menghadapi Prancis, Martinez mencoba melakukan hal yang sama ketika Belgia menyungkurkan Brasil. Saat itu, Marouane Fellaini ditugaskan mengawal Philippe Coutinho. Ketika menghadapi Prancis, target Fellaini adalah Paul Pogba, rekan satu timnya di Manchester United.

Ada dua harapan dari Martinez, pertama Fellaini bisa menang duel dengan Pogba karena sudah kenal betul tipe permainannya. Lewat aksi-aksi kotor Fellaini, Pogba diharapkan meledak emosinya dan fokus dalam pertandingan menjadi kacau.

Kenyataan bicara sebaliknya. Pogba malah bermain begitu cair. Tak seperti Coutinho, Pogba selalu mampu lepas dari kawalan Fellaini.

Dalam kondisi ini, Pogba bisa menguasai bola dengan mudah. Sedangkan, Fellaini harus bekerja keras mengejar Pogba.

"Pogba main dengan efisien. Fellaini sepertinya memang ditugaskan untuk menjaga Pogba. Jadi, fokusnya cuma kawal Pogba, tak bebas bergerak dengan bola," ujar Deschamps.

Tak usah heran sebenarnya dengan gaya main Prancis yang oportunis. Deschamps sebagai pelatih, memiliki naluri tersebut. Sebagai mantan gelandang jangkar, pemikirannya tentang sistem pertahanan tentu sangat kuat.

Terlebih, Deschamps memiliki banyak jangkar pertahanan yang bertenaga dan begitu kuat dalam duel. Sebut saja Umtiti, Varane, hingga N'Golo Kante. Pun dengan dua bek sayap seperti Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez.

Hadirnya Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann yang jago sprint juga memudahkan Deschamps memainkan gaya oportunis di Prancis.

Reinkarnasi Skuat 1998

Butuh waktu selama 12 tahun bagi Prancis untuk kembali menapaki final Piala Dunia. Terakhir kali mereka berlaga di partai puncak turnamen sepakbola terakbar dunia tersebut adalah pada Piala Dunia 2006, Jerman.

Lawan Prancis saat itu adalah Italia. Dan dalam laga melawan Italia, yang digelar di Olympiastadion, Berlin, 9 Juli 2006, ada sebuah insiden paling dikenang publik.

Yaitu, ketika Zinedine Zidane menanduk bek Italia, Marco Materazzi. Tandukan Zidane membuat Zidane harus diusir oleh wasit Horacio Elizondo.

Meski tampil dengan kekuatan pincang, Prancis bisa memaksa Italia bertarung hingga babak adu penalti. Sayangnya, dalam adu penalti, Prancis kalah dengan skor 3-5.

Situasi Prancis di 2006 dengan sekarang sebenarnya berbeda jauh. Skuat saat itu dianggap tak cukup meyakinkan publik, Prancis bisa ke final.

Pun dengan hasil yang didapat. Dalam perjalanannya, Prancis pada 2006 sempat terseok di penyisihan grup. Mereka bisa lolos dari Grup G setelah menempati posisi runner up. Baru selanjutnya meraih kemenangan demi kemenangan.

Agaknya, skuat saat ini lebih layak dibandingkan dengan 1998. Ya, ketika itu Prancis memiliki skuat yang lengkap.

Pemain senior dipadu dengan para penggawa muda yang bertalenta besar macam Thierry Henry dan David Trezeguet. Zidane ketika itu juga sedang dalam usia emasnya, 25 tahun.

Lewat susunan skuat tersebut, pelatih Aime Jacquet tak sulit untuk mengutak-atik komposisi starting elevennya. Di fase grup, perjalanan Prancis begitu mulus. Mereka menyabet tiga kemenangan sepanjang penyisihan dan lolos sebagai pemuncak klasemen Grup C.

Selanjutnya, Prancis dengan mulus mengandaskan Paraguay, Italia, Kroasia, dan Brasil, untuk bisa meraih trofi Piala Dunia pertama mereka.

Di Piala Dunia 2018, tipe-tipe pemainnya dalam era 1998 lalu hampir mirip. Bedanya, di 2018 lebih banyak pemain muda di dalamnya.

Muda secara angka. Tapi, pengalaman mereka terbilang kaya karena sudah sering bermain di level tertinggi Eropa dan dunia.

Perjalanan Prancis di Piala Dunia 2018 juga sama dengan 1998. Mereka juga tergabung di Grup C pada Piala Dunia 2018.

Denmark juga jadi salah satu pesaing di fase grup. Tapi, Prancis tak menyapu bersih kemenangan pada penyisihan Piala Dunia 2018 karena ditahan imbang oleh Denmark di partai pamungkas.

Selanjutnya, mereka dengan mulus melaju ke final setelah mengandaskan Argentina, Uruguay, dan Belgia.

Didier Deschamps

Deschamps enggan membandingkan skuat 1998 dengan sekarang. Sebagai kapten di 1998, Deschamps menilai, membandingkan skuat sekarang dengan masanya ketika juara dunia merupakan sebuah kesalahan.

Bagi Deschamps, skuat sekarang merupakan generasi yang jauh berbeda. "Bahkan ada pemain sekarang yang belum lahir ketika kami juara. Namun, mereka tahu dan menyaksikan melalui gambar," kata Deschamps dilansir Goal.

"Saya tak bisa membandingkan, bicara dengan mereka soal pemain yang berlaga di 20 atau 10 tahun lalu. Kami mau menuliskan sejarah baru," lanjutnya.

Dendam Piala Eropa

Final Piala Dunia 2018 menjadi yang kedua bagi Prancis dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Menjadi yang kedua pula bagi Deschamps di kurun waktu tersebut.

2016 lalu, Prancis berhasil menembus final Piala Eropa. Sayangnya, ketika menjadi tuan rumah di perhelatan tersebut, Prancis kalah dengan skor tipis, 0-1, dari Portugal.

Hasil yang tak diduga. Apalagi, Prancis lebih diunggulkan ketimbang Portugal saat itu.

Deschamps sudah pasti tak mau menelan pil pahit dalam dua tahun beruntun. Baginya, trofi Piala Dunia 2018 harus disabet.

"Kami harus memenangkan Piala Dunia 2018. Sebab, kami belum meraih trofi karena kami kalah dua tahun lalu," tegas Deschamps dikutip Sportsmole.

Pertandingan final Piala Eropa 2016 antara Prancis kontra Portugal

Hal senada diungkapkan oleh Pogba. Wajib, bukan sunah, itulah hukum meraih trofi Piala Dunia bagi seorang Pogba.

Menjadi juara dunia, diterangkan eks pemain Juventus tersebut, sudah cukup mengobati luka yang muncul akibat kekalahan di final Piala Eropa 2016.

"Kami punya kesempatan saat itu. Namun, kami melewatkannya. Jadi, sekarang saya tak mau hal serupa terulang," kata Pogba.

Ada banyak modal yang dimiliki Prancis untuk bisa jadi juara. Pelatih cerdas, skuat komplet, hingga mentalitas pemain yang kuat, sudah cukup untuk Prancis mewujudkan mimpi mereka jadi juara untuk kali kedua.

"Karakter dan mentalitas pemain saat menghadapi Belgia begitu tepat. Mereka bisa bertahan saat melakoni laga yang berat. Ini luar biasa," ujar Deschamps.

Sebelum tampil di final, Deschamps pun menyatakan akan melakukan beberapa evaluasi. Salah satunya adalah mempertajam sifat oportunis Prancis. "Lebih efektif lagi dalam mengambil keuntungan dari serangan balik," tutur Deschamps.

Memang, Prancis layak untuk tampil di final Piala Dunia 2018. Meski Courtois sempat mengejek Prancis lolos ke final karena menang bola mati, tapi hasil sudah keluar.

Kalau mengikuti prinsip Jose Mourinho, "Menang tetaplah menang, tak peduli bagaimana cara mendapatkannya karena sepakbola memang seperti itu." Jadi, felicitations France!

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya