Juara Sejati Penuh Prestasi Bernama Piala Presiden

Arema FC, juara Piala Presiden 2019, akan bertandang ke markas PSS Sleman dalam laga perdana Liga 1 Musim 2019, Rabu 15 Mei.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/pd.

VIVA – Drama, menguras energi dan air mata, berakhir dengan tawa bahagia. Pemandangan ini begitu kental dalam ajang Piala Presiden 2019.

Ini Hal Paling Diwaspadai Arema FC dari PSM Makassar

Memasuki penyelenggaraan keempat, Piala Presiden memang menyajikan berbagai kejutan. Tak banyak menyangka, beberapa raksasa justru terkapar di fase awal Piala Presiden.

Mereka yang difavoritkan malah gagal melaju ke babak krusial. Dan seperti biasanya, tim promosi mampu membuat kejutan.

Arema FC Bakal Rotasi Pemain Saat Lawan PSM Makassar

Persija Jakarta, berlabel juara bertahan dan jawara Liga 1 musim 2018, langkahnya terhenti sampai perempatfinal. Kiprah mereka, dihentikan oleh tim promosi nan sensasional, Kalteng Putra. Macan Kemayoran kalah lewat babak adu penalti di perempatfinal, 3-4.

Runner up Liga 1 musim lalu, PSM Makassar, lebih tragis nasibnya. PSM justru gagal lolos ke fase gugur.

Arema FC Dalam Motivasi Tinggi Saat Melawan PSM 

Ada juga kejutan lain, ketika Borneo FC gagal lolos tanpa meraih satu poin pun di fase grup. Borneo bahkan gagal mencetak satu pun gol sepanjang kiprahnya di fase grup.

Ya, kejutan. Sebuah hadiah yang muncul ketika kotak pandora Piala Presiden dibuka secara perlahan.

Dari tahun ke tahun, Piala Presiden memang sarat akan hiburan dan kental dengan kejutan. Bisa dibilang, gambaran tentang persaingan kompetisi musim depan.

Setiap tim Liga 1, umumnya mengukur kekuatan mereka lewat turnamen pramusim ini. Hakikatnya, Piala Presiden menjadi satu-satunya media setiap tim di Indonesia untuk menyiapkan diri menghadapi kompetisi sebenarnya pada setiap musim.

Lewat Piala Presiden pula, performa klub-klub Tanah Air dievaluasi dan diperbaiki untuk menghadapi kompetisi sesungguhnya. Turnamen yang diperlukan di Indonesia.

Khususnya tahun ini. Akibat kompetisi yang tak pasti, tim di Indonesia bisa jadi libur panjang, andai Piala Presiden tak digelar.

Dengan hadirnya Piala Presiden, mereka bisa berlaga. Efek dominonya adalah kegiatan ekonomi klub berjalan. Pemain tak lagi cuma latihan, tapi juga meningkatkan kemampuan dan dapat penghasilan, dari sepakbola yang selama ini jadi sumber kehidupan.

Begitu pentingnya Piala Presiden bagi klub-klub di Indonesia. Memang itu hakikat sepakbola, membuat seluruh elemennya tersenyum lewat pertandingan.

Tapi, bagaimana dengan elemen sekitarnya seperti pedagang, apakah mereka ikut tersenyum? Ya, mereka juga ketiban untung.

Di masa libur kompetisi, tentu pedagang pernak-pernik sepakbola akan mengalami penurunan pendapatan. Namun, saat Piala Presiden digelar, pastinya gairah ekonomi mereka meningkat.

"Antusiasme suporter bagus. Apalagi, saat Persela Lamongan main di kandang dalam turnamen ini," kata salah satu pedagang di kawasan Stadion Surajaya, Lamongan, Daren.

Tuah yang terbukti manjur dari tahun ke tahun. Artinya, misi ekonomi di Piala Presiden selalu terpenuhi.

Dari segi prestasi, misinya juga sudah terselesaikan. Klub-klub tengah mengukur kekuatan mereka. Hasilnya? Poros kekuatan sepakbola Jawa Timur mengancam.

Pemain Madura United, Andik Vermansah (kedua kanan) menangis usai kalah dari Persebaya Surabaya di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, 3 April 2019.

Di Piala Presiden 2019, ada geliat kebangkitan tim-tim Jawa Timur. Terlihat dari formasi semifinal, di mana, dominasi Jawa Timur tersaji. Madura United, Arema FC, dan Persebaya Surabaya, adalah wakil yang mampu mengembalikan prestise sepakbola Jawa Timur.

Hanya Kalteng Putra, tim di luar Jawa Timur masuk sebagai semifinalis. Di semifinal, Kalteng Putra tak mampu berbuat banyak. Mereka dipermak Arema dalam dua pertemuan, dengan agregat 6-0.

Di sisi lain, derby Suramadu antara Madura United versus Persebaya berlangsung sengit. Gengsi dipertaruhkan dalam duel itu. Hingga akhirnya, Persebaya yang mampu berjaya. Di leg 1 mereka menang 1-0, dan pada pertemuan kedua, mereka menang dalam drama lima gol.

Jadilah, duel klasik antara Persebaya versus Arema tersaji di final. Partai yang menarik, karena laga antara kedua tim selalu menyajikan drama.

"Momentum ini membuktikan Jawa Timur merupakan barometer sepakbola Indonesia. Jangan lihat sisi bahaya pertandingan ini, tapi prestasi dari kedua tim," kata Sudarmaji, Media Officer Arema FC.

Ya, duel Persebaya versus Arema memang selalu bikin jantung deg-degan. Bagaimana tidak, dilihat dari sejarah, hubungan kedua suporter memang kurang harmonis.

"Ujian terberat adalah rivalitas Bonek dan Aremania. Saya berharap agar kedua suporter dapat menjaga kondusivitas di laga final nanti," harap pelatih Persebaya, Djadjang Nurdjaman.

Doa yang sama disampaikan oleh pedangdut Via Vallen. Sebagai warga Jawa Timur, Via begitu bangga Persebaya dan Arema bentrok di final.

Lewat akun instagramnya, Via menyatakan kebanggaannya. Namun, wanita 27 tahun tersebut mengaku tak paham dengan format dua leg yang diterapkan dalam final Piala Presiden tahun ini.

Sebenarnya, format dua leg dalam final Piala Presiden jadi salah satu trik dalam menghibur penikmat sepakbola nasional. Pun, itu menjadi jalan keluar demi memuaskan hasrat suporter agar bisa menyaksikan dua tim kesayangan mereka berlaga secara langsung.

Ya, di awal, Polda Jawa Timur sudah membuat aturan agar Aremania tak ke Surabaya untuk menonton, begitu juga sebaliknya. Dengan aturan tersebut, skema dua leg dalam final Piala Presiden tahun ini menjadi yang terbaik karena Persebaya dan Arema bisa didukung dengan kekuatan penuh.

Menggelar final di tempat netral, memang bisa jadi solusi. Hanya saja, jumlahnya tentu akan dibatasi.

"Kami butuh penyegaran. Format dua leg menyajikan drama yang lebih. Pun, misal cuma main di satu tempat, kami tak bisa akomodir semua suporter datang. Dengan format kandang-tandang, dukungan maksimal dari penonton pastinya ada. Makanya, ini jadi format terbaik," kata anggota Steering Committee Piala Presiden, Cahyadi Wanda.

Pilihan tepat. Karena, tensi laga di final menjadi begitu tinggi. Lewat format dua pertemuan, jantung fans dibuat berdegup kencang karena kedua tim ngotot tak mau kalah.

Adrenalin naik turun karena, lantaran laga dipenuhi aksi saling serang dalam dua pertemuan. Tak jarang, drama tersaji di atas lapangan.

Berakhir dengan skor 2-2 dalam leg 1 di Stadion Gelora Bung Tomo, 9 April 2019, pertemuan kedua pun berlangsung lebih menarik. Arema dan Persebaya saling serang. Di Stadion Kanjuruhan, dikepung Aremania, Persebaya tampil percaya diri.

Sejak peluit dibunyikan, Arema dan Persebaya saling ancam. Bahkan dua menit awal, sudah ada beberapa peluang emas yang diciptakan Arema dan Persebaya.

Namun, Arema yang lebih konsisten. Mereka akhirnya mampu menjebol gawang Persebaya dua kali, lewat Nur Hardianto dan Ricky Kayame.

Winger Arema FC, Ricky Kayame

Gol Ricky yang memecah atmosfer di Stadion Kanjuruhan. Suar makin banyak menyala, membuat asap tebal dan napas makin sesak. Namun, itulah euforia sesungguhnya dari sambutan Aremania atas prestasi tim kesayangan mereka.

Sebuah atmosfer yang memang selalu membuat berbagai insan sepakbola, nasional maupun internasional, merinding saat main di Indonesia.

"Dukungan suporter luar biasa. Sekarang itu, kalau mau menang bukan nyogok wasit. Tapi, pilih pemain dan pelatih bagus," kata Ketua Steering Committee Piala Presiden, Maruarar Sirait.

Keberhasilan Arema jadi juara sebenarnya bukan di luar dugaan. Sejak disandingkan dengan Persebaya di final, ada pertanda Arema yang akan jadi juara.

Itu terlihat dari statistik permainan Arema yang terus menanjak sejak fase grup hingga gugur. Di sisi lain, Persebaya justru mengkhawatirkan karena peak performance mereka terlihat sudah muncul di laga melawan Madura United.

"Kritikan Aremania dan Aremanita, usai kalah dari Persela, begitu membantu. Kami mempersembahkan gelar ini untuk Malang Raya," ujar kapten Arema, Hamka Hamzah.

Djadjang Nurdjaman, pelatih Persebaya, mengakui kekurangan timnya. Menurut Djadjang, masih banyak yang perlu dibenahi di skuatnya.

Sebab, empat gol yang bersarang ke gawang Persebaya merupakan kesalahan fatal pemainnya. "Konsentrasi kami harus perbaiki. Kami tak bisa menampilkan performa terbaik. Banyak peluang, tapi tak ada gol tercipta di leg 2," ujar Djanur (sapaan akrabnya).

Lulus Dua Ujian Berat

Edisi 2019 merupakan yang keempat bagi Piala Presiden. Empat kali diselenggarakan, tentu ada ujian berat yang harus ditempuh oleh penyelenggara.

Ibaratnya, Piala Presiden ini film Marvel Cinematic Universe yang selalu ditunggu penggemarnya. Mereka tentu mengharapkan hal yang lebih. Maksudnya adalah, mempertahankan kualitas dan meningkatkannya menjadi PR tersendiri bagi penyelenggara.

Khususnya yang berkaitan dengan transparansi, hiburan, keberkahan ekonomi, dan lainnya, tentu jadi harapan bagi fans sepakbola nasional. Di tiga penyelenggaraan sebelumnya, panitia selalu sukses memberikan sajian menarik ke pecinta sepakbola nasional.

Dan, pada penyelenggaraan keempat, mereka kembali memberikan kepuasan kepada para penikmat sepakbola Indonesia. Ujian besar pertama mereka lewati dengan baik.

Transparansi dijaga, hiburan ada, dan drama pun tersaji di dalamnya. Khusus hiburan, Piala Presiden kali ini menggabungkan konsep entertainment dan olahraga dalam penutupannya dengan mengundang Dewi Persik, Trio Macan, serta artis ternama lainnya.

Ditambah, ada konsep segar yang menghadirkan enam legenda Arema dan Persebaya untuk berlaga di atas lapangan, melawan 50 anak kecil. Konsep ini sebenarnya sama dengan salah satu acara di stasiun televisi Jepang.

Pertandingan eksebisi antara Legenda Arema dan Persebaya melawan 50 pemain cilik

Bedanya, jika stasiun televisi Jepang itu mempertemukan tiga pemain aktif Samurai Blue, Piala Presiden justru menghadirkan legenda Arema dan Persebaya.

"Secara konsisten, kami terbuka. Transparansi keuangan dijaga dan kami diaudit secara terbuka. Harapannya, tradisi ini bisa berlanjut di sepakbola Indonesia. Penyelenggaraan keempat telah membawa efek positif," ujar Ara.

Ada ujian lain dalam Piala Presiden 2019, sebenarnya. Ujian itu adalah bagaimana turnamen ini bertahan dalam arus politik yang begitu deras.

Ya, berbagai anggapan miring sempat menghantam Piala Presiden 2019. Beberapa pihak sempat khawatir dan nyinyir, Piala Presiden edisi keempat dijadikan media untuk oleh pihak tertentu demi kampanye untuk Pemilu 2019. Maklum, karena Piala Presiden dimulai jelang Pemilu Presiden dan berakhir hanya lima hari sebelum pencoblosan.

Nyatanya, itu tak terjadi. Panitia mampu membersihkan segala macam kekhawatiran dan ancaman adanya pencemaran berbau politik di turnamen ini.

"Bedakan Piala Presiden dengan Piala calon Presiden," tegas Ara.

Soal transparansi, Ara tak malu-malu membeberkan berapa uang yang didapat panitia sepanjang turnamen ini. Dana sebesar Rp46 miliar, didapat panitia dari sponsor.

"Bagus sekali. Sampai saat terakhir saja, masih ada yang kasih sponsor. kemajuan luar biasa. OC kelihatannya sudah pasti untung. Pak Presiden mengapresiasi seluruh pihak, PSSI, klub, dan sponsor," ujar Ara.

Detail kecil lain yang menjadi pemanis Piala Presiden adalah soal trofinya. Kecil, tapi detail ini sebenarnya yang membuat ajang Piala Presiden menjadi sakral.

Panitia begitu memikirkan untuk membuat sebuah penyegaran akan konsep trofi yang mewah dan prestisius, tanpa menghilangkan nilai artistik serta magisnya. Jadilah, trofi itu diperbarui oleh seorang seniman bernama Surya Aditya.

Trofi Piala Presiden 2019

Di tangan Surya, trofi Piala Presiden dipercantik dengan sentuhan beberapa batu dari berbagai belahan Indonesia. Batu macam Badar Besi, Red Borneo, Teratai Merah, Red Baron Pacitan, Cempaka Aceh, dan lainnya, menempel di trofi tersebut. Batu-batu itu tak sembarangan karena punya nilai dan kearifan lokal. Surya memang mengakui, alasan penempatan batu tersebut sebagai bukti kebhinekaan Indonesia.

Menggali Potensi Amunisi Lokal

Piala Presiden 2019 juga menjadi berkah bagi para pemain lokal. Lewat Piala Presiden 2019, amunisi lokal bisa bersaing dengan legiun asing. Banyak pemain lokal yang bersinar sepanjang Piala Presiden kali ini.

Ada dua bomber lokal yang bersaing dengan bintang asing untuk memperebutkan gelar top scorer.

Mereka adalah Ricky Kayame dan Dedik Setiawan, yang masing-masing sudah mencetak empat gol, berselisih satu saja dari Manuchekhr Dzhalilov dan Bruno Matos.

Pun, keduanya bersaing juga dengan Makan Konate, Dzhalilov, dan Balde, dalam persaingan gelar pemain terbaik. Ada satu lagi pemain lokal yang bersaing untuk gelar pemain terbaik Piala Presiden 2019, yakni Hansamu Yama Pranata.

Fakta ini membuktikan, kepercayaan terhadap pemain lokal, bisa berbuah manis.

Intinya, kepercayaan. Sebab, hal tersebut sangat jarang didapatkan oleh pemain lokal sekarang, khususnya mereka yang berposisikan sebagai penyerang.

Ricky dan Dedik contohnya. Dua talenta lokal yang membela Arema ini tampil moncer. Mereka menjadi mesin gol utama Arema, hingga akhirnya mampu masuk sebagai kandidat top scorer dan pemain terbaik.

Laga final Piala Presiden 2019 antara Arema FC melawan Persebaya Surabay

Tapi, justru ada yang menarik dan menjadi puncak dalam penentuan apakah amunisi lokal atau asing yang menyabet gelar pemain terbaik. Hamka Hamzah, pemain yang tak masuk posisi enam besar nominasi pemain terbaik, justru menyabet gelar tersebut.

Kejutan, sekaligus bukti bahwa talenta lokal sebenarnya masih moncer dan punya kualitas wahid. Terlebih, Hamka sudah memasuki usia yang senja dan membuktikan diri kontribusi serta kepemimpinannya bisa membawa Arema juara.

"Saya berterima kasih ke Coach Milo yang selalu memberikan kepercayaan, meski saya tidak muda lagi. Di usia 35 tahun ini tidak mudah bermain dalam dua pertandingan dengan waktu yang dekat. Tapi, pelatih memberi kepercayaan itu," tutur Hamka.

Bek Arema FC, Hamka Hamzah, dalam laga kontra Persebaya Surabaya

Dengan fakta ini, sudah seharusnya pelatih-pelatih di Liga 1 memberikan kepercayaan kepada para pemain, khususnya striker, lokal. Sebab, dengan kepercayaan itu pula, pencarian striker berkualitas untuk Timnas Indonesia akan terbantu.

Mendewasakan Suporter

Suporter juga menjadi sorotan dalam Piala Presiden kali ini. Tingkah laku mereka sepanjang turnamen pramusim terbesar di Indonesia tersebut pada edisi keempat ini, terbilang cukup tertib.

Bonek Mania menjadi primadona, di Piala Presiden ini. Meski, ada insiden pelemparan di final leg 1, aksi Bonek sepanjang Piala Presiden patut diacungi jempol.

Khususnya, ketika mereka melakukan aksi lempar boneka ke lapangan. Ada tujuan mulia di balik aksi tersebut.

Melempar boneka ke lapangan adalah bentuk dukungan Bonek kepada anak-anak penderita kanker. Koreografi Bonek yang satu ini pun mendapatkan apresiasi tinggi dari UNICEF.

Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Arie Rukmantara mengapresiasi aksi Bonek kemarin. Menurutnya, dukungan Bonek terhadap anak-anak penderita kanker begitu berharga.

"Mereka memberikan harapan besar kepada anak-anak penderita kanker, melalui pesan positif lewat olahraga," kata Arie.

Memang, menurut Arie, dukungan moral sangat penting diberikan kepada para penderita kanker. Terlebih, bagi mereka yang masih anak-anak.

Sebab, dukungan moral menjadi salah satu pendukung untuk pemulihan anak-anak penderita, palliative care, dan menjadi stakeholder kampanye peduli kanker di Indonesia.

"Kami bangga, dengan apa yang sudah dilakukan para Bonekmania. Mereka bisa tetap jadi pendekar anak di masa depan," jelas Arie.

Aksi lempar boneka para Bonek Persebaya Surabaya.

Ada juga aksi mengagumkan lainnya yang dilancarkan Bonek. Itu adalah ketika mereka memberikan penghargaan kepada pemain legendaris Persebaya, Eri Irianto, pada semifinal leg 1, melawan Madura United, 3 April 2019.

Dalam duel yang dihadiri 50.127 orang, terdapat sebuah spanduk besar bergambar Eri dengan dihiasi nomor kebanggaannya, 19. Ditambah, Bonek melakukan aksi mengheningkan cipta pada menit 19 di laga tersebut.

Itu menjadi penghormatan Bonek kepada Eri, yang wafat pada 3 April 2000 silam usai berbenturan dengan pemain PSIM Yogyakarta.

"Dia sahabat baik saya. Terima kasih Bonek yang masih ingat," kata asisten Persebaya, Bejo Sugiantoro, sambil mengusap air matanya.

Bonek kenang legenda Persebaya nomor 19, almarhum Eri Erianto.

Aksi seperti ini yang memang seharusnya diteruskan di sepakbola nasional. Mendukung tim dengan cara positif.

Kekhawatiran adanya bentrokan suporter di final juga tak terjadi. Bonek dan Aremania bersikap dewasa.

Aremania berbesar hati tak datang ke Surabaya pada final leg 1. Pun sebaliknya.

Di sisi lain, Aremania yang tak kebagian tiket final leg 2, juga bersikap tertib. Mereka tak memaksa masuk, menunggu jebolan atau lainnya.

Redam segala macam emosi, jauhkan permusuhan, berbesar hati, dan bersikap dewasa demi mendukung perkembangan sepakbola Indonesia. Dukung tim kesayangan dengan cara positif, sudah waktunya.

Dan pemandangan menarik yang tersaji di Piala Presiden 2019 ini, sudah seharusnya diteruskan dalam kompetisi sesungguhnya. Pun dengan pengelolaannya, yang mengedepankan azas keterbukaan, hiburan, dan sportivitas.

Masih ditunggu, apakah kompetisi Indonesia di musim 2019, bisa tertular tren positif Piala Presiden yang sudah empat edisi diselenggarakan. Selamat untuk Piala Presiden, juara sejati di tengah hausnya kemapanan turnamen atau kompetisi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya