Fakta Mengerikan Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan Malang (Foto/VIVA.co.id)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Awan hitam menyelimuti sepakbola Indonesia. Tragedi Kanjuruhan telah merenggut 125 nyawa (versi kepolisian). Stadion Kanjuruhan yang awaknya tempat bersuka cita bagi para Aremania, seketika menjadi tempat paling menakutkan.

Malam itu, 1 Oktober 2022, Puluhan ribu Aremania yang hadir di Stadion Kanjuruhan mugkin tidak akan pernah bisa lupa. Dua momen menyayat hati bergantian terjadi. 

Pertama, Arema FC, tim kesayangan harus tunduk 2-3 dari rival abadi, Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1 2022/2023. Yang kedua mome mencekam saat aparat menembakan gas air mata, membuat mereka pontan-panting mencari jalan keluar.

1 Oktober 2022 menjadi hari paling kelam dalam catatan sepakbola Tanah Air. Tak pernah sebanyak ini jumlah korban kehilangan nyawa gara-gara sepakbola.

Indonesia pun kini menjadi sorotan dunia. Lagi-lagi bukan karena prestasinya, tapi karena duka yang entah berapa kali terjadi.

Dan Tragedi Kanjuruhan pun akan tercatat dalam sejarah sepakbola paling mematikan di dunia. Faktanya, kini Tragedi Kanjuruhan menjadi yang kedua, di bawah Bencana Stadion Nasional Lima.

Menurut laporan Priceonomics, pertandingan paling mematikan dalam sejarah sepak bola adalah di Stadion Nasional Lima, Peru. Momen mengerikan itu terjadi pada 24 Mei 1964 dan merenggut nyawa 354 orang.

Keributan terjadi dalam laga Timnas Peru melawan Argentina di babak kualifikasi kedua untuk turnamen Olimpiade Tokyo. Pertandingan ini disaksikan 53.000 penonton atau 5% dari populasi ibu kota pada saat itu.

1 Tahun Tragedi Kanjuruhan, JSKK: Duka Berlarut dan Impunitas yang Tak Surut

Pertandingan berlangsung sengit oleh kedua tim, dan dengan dua menit waktu normal tersisa, Argentina memimpin 1-0. 

Peru dengan semangat di depan pendukung mampu mencetak gol penyama. Namun, wasit Agngel Eduardo Pazos (orang Uruguay) dianggap condong ke arah kemenangan Argentina. 

Arema FC Torehkan Kemenangan untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Siapa sangka, keputusan itu menjadi awal mula malapetakan. Dalam rentang sepuluh detik, ribuan penggemar Peru berubah dari kegembiraan menjadi kemarahan.

Bencana dimulai ketika salah satu penonton — seorang penjaga bernama Bomba — berlari ke lapangan dan memukul wasit; ketika penggemar kedua bergabung, dia diserang secara brutal oleh polisi dengan tongkat dan anjing.

Paper Power: Tragedi Kanjuruhan Belum Tuntas, 25 Korban Masih Dikenang

Jose Salas, seorang penggemar yang hadir pada pertandingan tersebut, mengatakan kepada BBC bahwa ini adalah katalis bencana. “Polisi kami sendiri menendang dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh,” kenangnya. “Inilah yang menimbulkan kemarahan semua orang – termasuk saya.”

Saat serangan terjadi dan frustrasi atas panggilan wasit meningkat, puluhan penggemar menyerbu lapangan, dan kerumunan mulai melemparkan benda ke polisi dan pejabat di bawah. 

Kerusuhan terjadi, dan polisi meluncurkan tabung gas air mata ke kerumunan, yang mendorong puluhan ribu penggemar untuk mencoba melarikan diri dari stadion melalui tangganya.

Ketika penggemar mencapai bagian bawah lorong-lorong ini, mereka menemukan bahwa gerbang baja yang mengarah ke jalan keluar terkunci rapat; ketika mereka berusaha untuk lari kembali, polisi melemparkan lebih banyak gas air mata ke dalam terowongan, memicu histeria massal dan menyebabkan kehancuran besar.

Sebagai akibatnya, 328 orang tewas karena sesak napas dan/atau pendarahan internal, meskipun kemungkinan jumlah korban tewas lebih tinggi.


Menghilang Begitu Saja

Pemerintah Peru pun dituduh sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam tragedi ini. Pemerintah dianggap telah meremehkan jumlah korban jiwa dan menutupi kematian beberapa orang yang terbunuh oleh tembakan polisi.

Hakim yang bertanggung jawab untuk menyelidiki peristiwa tersebut, Benjamin Castaneda, menuduh menteri dalam negeri saat itu mendalangi invasi lapangan dan tanggapan brutal polisi, untuk menghasut massa untuk melakukan kekerasan – sehingga memberikan dalih untuk tindakan keras yang kejam.

Jose Salazar, seorang jurnalis yang banyak menulis tentang bencana berspekulasi bahwa tindakan polisi diperhitungkan untuk menundukkan sikap "kiri" Peru pada saat itu:

“Di Peru, orang pertama kali berbicara tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan buruh dan partai komunis. Kiri cukup kuat, dan ada bentrokan permanen antara polisi dan rakyat.” ucapnya.

Banyak detail seputar insiden itu masih belum jelas, dan Kementerian Dalam Negeri Peru tidak pernah sepenuhnya berusaha untuk menyelidikinya. Sampai hari ini, Bencana Nasional Estadio adalah yang terburuk dalam sejarah sepakbola.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya