YLKI Minta Pertamina Jamin Ketersediaan Elpiji Biru
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta jaminan ketersediaan elpiji nonsubsidi tabung 12 kilogram usai kenaikan harga komoditas tersebut per 1 Januari 2014.
Pengurus YLKI, Tulus Abadi, mengatakan bahwa bagi konsumen elpiji 12 kg, yang umumnya kalangan menengah ke atas, mereka lebih mengutamakan keberlanjutan pasokan dan kualitas produk, dibandingkan harga.
"Kelas menengah umumnya tidak terlalu sensitif dengan harga," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 4 Januari 2014.
Ia melanjutkan, secara alamiah, harga memang menjadi pertimbangan bagi semua konsumen, namun bagi kalangan menengah, hal itu bukanlah yang utama.
Hal senada dikemukakan pengamat energi Komaidi Notonegoro. "Paling utama ketersediaan pasokan, lalu kualitas produk, dan baru harga. Artinya, selama pasokan dan kualitas terjamin, harga menjadi tidak masalah," katanya.
Untuk itu, Tulus mengatakan, jaminan ketersediaan elpiji menjadi penting. Sebab, sering kali pasokan tersendat, sehingga harga mengalami kenaikan di luar ketentuan.
"Usai kenaikan ini, sebagai kompensasinya, Pertamina mesti lebih bekerja keras, agar tidak terjadi kelangkaan pasokan," ujarnya.
Demikian pula, dia melanjutkan, mesti ada jaminan kualitas produk elpiji 12 kg yang lebih baik. "Misalkan, takarannya tepat dan tidak dikurangi," katanya.
Aparat kepolisian dan pemerintah daerah, menurut Tulus, juga mesti ikut mengawasi karena pengurangan pasokan merupakan tindakan yang membahayakan masyarakat. "Setelah, ketersediaan dan kualitas produknya, barulah konsumen akan bicara harga," jelasnya.
Komaidi Notonegoro menambahkan, kebijakan kenaikan harga elpiji yang dilakukan Pertamina merupakan aksi korporasi. "Saya melihat kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kg ini lebih karena Pertamina tidak mau merugi lebih lama lagi," ujarnya.
Namun, dia menambahkan, Pertamina tetap mesti menjamin ketersediaan pasokan agar harga tidak makin naik di luar ketentuan usai kenaikan.
Lalu, Pertamina dan pemerintah, menurut dia, juga harus mengawasi secara ketat migrasi konsumen 12 kg ke non subsidi ke 3 kg yang disubsidi. "Polisi dan pemda mesti berperan di sini. Jangan lempar tanggung jawab," katanya.
Pertamina per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen untuk mengurangi kerugian bisnis bahan bakar non subsidi yang rata-rata Rp6 triliun per tahun.
Harga elpiji sampai di pangkalan yang sebelumnya Rp5.850 per kg naik Rp3.959 menjadi Rp9.809 per kg. Dengan demikian, per tabung 12 kg, harganya naik dari Rp70.200 menjadi Rp117.708 per tabung.
Setelah ditambah biaya distribusi dan pengisian elpiji, maka harga elpiji di tingkat konsumen menjadi Rp130.000-140.000 per tabung. Besaran kenaikan di tingkat konsumen itu akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun elpiji ke titik serah lalu ke konsumen.
Pertamina menghitung, setelah kenaikan harga, maka kerugian bisa ditekan menjadi tinggal sekitar Rp2 triliun. Harga pokok elpiji terutama ditentukan harga pembelian sesuai pasar dan nilai tukar rupiah.
Saat ini, harga pokok sudah mencapai Rp10.785 per kg. Dengan harga jual setelah kenaikan Rp9.809 per kg, maka Pertamina masih menanggung kerugian sekitar Rp2.000 per kg. Pada 2013, Pertamina rugi Rp5,7 triliun.
Kenaikan harga elpiji merupakan tindak lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebutkan kerugian bisnis elpiji nonsubsidi pada 2011-Oktober 2012 sebesar Rp7,73 triliun sebagai kerugian negara.
Pertamina juga telah melaporkan kenaikan harga kepada Menteri ESDM sesuai amanat Pasal 25 Permen ESDM No 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji.
Untuk mengatasi kekhawatiran migrasi konsumen 12 kg ke 3 kg usai kenaikan, BUMN migas itu telah mengembangkan sistem monitoring penyaluran elpiji 3 kg (simol3k).
Sistem telah diimplementasikan secara bertahap di seluruh Indonesia mulai Desember 2013. Dengan adanya sistem itu, maka Pertamina dapat memonitor penyaluran elpiji 3 kg hingga level pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya. (art)