Kasus Facebook Jual Data di AS Bisa Terulang di Indonesia

Ilustrasi Facebook.
Sumber :
  • REUTERS/Yves Herman

VIVA – Facebook tersengat skandal besar. Media sosial raksasa Amerika Serikat itu terbukti telah menjual 50 juta data pengguna untuk dianalisis oleh Cambridge Analytica.

Taliban Plans to Block Facebook Access in Afghanistan

Kemudian, data tersebut dipakai untuk memenangkan Donald John Trump dalam Pemilihan Presiden 2016. Cambridge memanfaatkan data pengguna Facebook untuk mempengaruhi konstituen atau pemilih agar berpaling ke taipan New York itu.

Hal serupa diperkirakan terjadi di Indonesia, karena menjelang pemilihan anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden tahun depan.

Taliban Akan Blokir Akses Facebook di Afghanistan

Apalagi, pengguna media sosial di Indonesia termasuk yang tertinggi di antara negara lain, selain AS, yang membuat banyak data pribadi pengguna bertebaran di dunia maya.

Facebook.

Puluhan Pelaku Kejahatan Diciduk Polres Depok, 2 di Antaranya Tega Bacok Korban

Pengamat teknologi informasi Heru Sutadi mengatakan, tidak hanya media sosial, tapi transportasi online juga meminta data pribadi pelanggan saat melakukan transaksi.

Mengacu dari kejadian Facebook dan bocornya data registrasi prabayar, ia menilai pemerintah harus lebih berperan dengan memanggil semua perusahaan yang memiliki data pelanggan.

Sudah terjadi pada 2014

Ia mencontoh Eropa yang sudah memanggil perusahaan-perusahaan tersebut, termasuk Facebook, mengenai larangan untuk berbagi data meskipun berada di grup perusahaan yang sama.

"Di sana (Eropa) mereka dipanggil. Dalam kasus Instagram misalnya, meski dimiliki Facebook tapi enggak boleh menggunakan data pengguna Instagram," kata Heru kepada di Jakarta, Rabu, 21 Maret 2018.

Sementara Indonesia, menurut Heru, belum ada larangan seperti ini. Artinya, semua perusahaan bisa memakai data dari perusahaan lain dengan sebebas-bebasnya.

Aksi demonstrasi di depan gedung MK usai Pilpres 2014.

"Harusnya dalam kondisi ini semua OTT (perusahaan aplikasi global) dipanggil seperti transportasi online, Facebook dan Twitter. Mereka harus meyakinkan kita untuk tidak menyebar data warga kita ke pihak lain, baik kelompok atau individu, tanpa persetujuan pengguna," ungkapnya.

Meski belum terjadi, namun mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ini meminta pemerintah tidak tinggal diam dengan keadaan yang terjadi di AS.

Ia mendesak pemerintah harus punya proteksi sebelum hal yang sama, mungkin, bisa terjadi di Indonesia.

Sebab, Heru memprediksi kemungkinan yang terjadi di AS akan berimbas ke Indonesia pada 2019. Caranya dengan mempengaruhi pengguna internet lewat konten-konten terselubung.

"Karena itu sudah terjadi tahun 2014. Google dipakai untuk iklan seperti itu. Di bawah ada iklan yang seolah-olah berita. Tapi faktanya titipan dari kandidat. Jangan baru bertindak setelah ada kejadian. Ah, Facebook. Ya sudahlah. Di negara lain ini, jauh. Jangan seperti itu," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya