Ojek Online Ditolak MK, Grab Pikirkan Nasib Pengemudinya

sorot ojek online - transportasi online - ojek grab
Sumber :
  • REUTERS/Iqro Rinaldi

VIVA – Grab Indonesia sedang mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi soal penolakan ojek online sebagai alat transportasi umum atau angkutan umum. Putusan tersebut diambil MK terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh para pengemudi ojek online. Grab memikirkan bagaimana dampak putusan tersebut pada nasib pengemudinya.  

Viral Perkelahian Ojol di Medan, Grab: Bukan Gara-gara Berebut Baterai Motor Listrik

"Kami sendiri baru mengetahui dari media. Saat ini sedang mempelajari keputusan seperti apa. Banyak aspek yang mesti dilihat," ujar Mananging Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata di Jakarta, Kamis, 5 Juli 2018. 

Walaupun tak merinci soal apa saja yang dipelajari oleh Grab, mereka juga melihat efek yang akan diterima oleh mitra mereka. 

Terancam Diboikot karena Dituduh Dukung Israel, Grab Bantah dan Donasi Rp3,5 M ke Gaza

"Tentunya kepentingan bagi mitra pengemudi dan penumpang itu menjadi perhatian utama bagi Grab. Kami mempelajari dulu isi dari aturan itu bagaimana efeknya bagi mereka dan bagaimana kami perbaiki pelayanan kami untuk bisa melayani pengemudi dan pelanggan dengan baik," ujarnya. 

Mahkamah Konstitusi menolak pelegalan ojek online sebagai transportasi umum atau angkutan umum. 

Presiden Grab Indonesia Didapuk sebagai Dewan Komisaris

54 pemohon mengajukan uji materi Pasal 47 ayat (3) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan Jalan (LLAJ). Aturan tersebut tidak mengatur ojek online sebagai angkutan umum. 

Pemohon tersebut terdiri dari pengemudi ojek online, karyawan swasta sampai mahasiswa. Mereka memberikan kuasanya kepada Komite Aksi transportasi Online (KATO). 

Hakim konstitusi bulat menolak ojek online sebagai angkutan umum. Majelis yang memutus adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan, maupun kendaraan bermotor umum. 

Mahkamah menegaskan tak menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal tersebut tak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstutusionalnya norma Pasal 47 ayat 3 tersebut. Sebab, menurut Mahkamah, ketika aplikasi ojek online belum tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan pasal 47 ayat 3 tersebut. Setelah melakukan kajian, Mahkamah memutuskan ojek online bukan alat transportasi yang legal. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya