Marak 'Pabrik' Akun Media Sosial Palsu, Kuncinya di Registrasi Kartu

Ilustrasi buzzer.
Sumber :
  • www.pixabay.com/geralt

VIVA – Kabar aktivitas buzzer politik dan 'pabrik' akun media sosial palsu yang menyebarkan dan mempropagandakan isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) menjadi perhatian publik Tanah Air. 

Awas Hoaks, Ayu Dewi Tegaskan Gak Pernah Jadi MC Peluncuran Jet Pribadi Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Peneliti Siber Sehat Indonesia, Renaldi Tambunan mengatakan soal isu, para buzzer akan memanfaatkan momentum yang bisa mengaduk-aduk pikiran dan emosi pengguna internet. Isu yang dipropagandakan bukan sebatas SARA saja, bahkan buzzer dan pelaku hoaks akan memanfaatkan isu apapun yang sedang menemukan momentumnya. 

"Isu agama memang selalu seksi untuk dieksploitasi dan menjadi pusat perhatian," katanya.

Nikita Mirzani Ngaku Dapet Kekerasan dari Rizky Irmansyah, Lita Gading: Lapor Jangan Koar-koar

Mengingat potensi panas dengan bergulirnya isu SARA di media sosial, Renaldi meminta aktor politik di Tanah Air harus mawas diri. Jangan sampai terpancing di air keruh.

"Aktor politik untuk tidak mudah terjebak dalam pertikaian dengan isu agama. Karena masyarakat nanti dengan mudah terpancing emosi dan pelaku hoaks dengan cepat akan memanas-manasi," katanya kepada VIVA, Senin malam, 23 Juli 2018.

Amanda Manopo Murka! Gosip Hoaks Tersebar Luas, Keluarga Sampai Tahu

Terkait antisipasi dari pemerintah, Renaldi berpandangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sudah memantau cukup lama. Hanya saja, masyarakat tidak bisa sepenuhnya berharap langsung dengan aksi pemerintah untuk membabat habis hoaks. 

"Karena bila ada akun yang dihapus, pelaku juga bisa langsung membuat konten dan akun yang baru," jelas Renaldi.

Ilustrasi buzzer

Menurutnya, buzzer dan pelaku penyebar hoaks punya celah untuk terus menyebarkan propaganda dengan menggunakan teknologi perangkat dan software yang bisa menyamarkan lokasi dan identitas mereka. 

"Ini yang harus dipahami bersama. Karena itu memang diperlukan kerja sama yang baik dengan masyarakat," jelasnya.

Untuk menghalau 'pabrik' akun media sosial palsu dan hoaks, dia berpandangan, pemerintah perlu lebih ketat dibanding yang selama ini dilakukan. 

Harus dipersulit

Langkah Kominfo membatasi kepemilikan kartu prabayar dengan registrasi ulang maksimal tiga kartu SIM, cukup bisa diapresiasi. Namun dia mencatat, pembatasan lewat registrasi itu ternyata belum efektif membasmi penyebar hoaks dan munculnya 'pabrik' akun media sosial palsu.

Sebab satu NIK KK bisa digunakan lebih dari 3 nomor kartu prabayar. Artinya pelaku produsen hoaks bisa memakai identitas orang lain untuk melakukan registrasi pada nomor yang akan dipakai menyebarkan hoaks.

"Hoaks ini kan lewat media sosial (begitu) massif. Persebaran lewat akun media sosial dan WhatsApp, keduanya memerlukan nomor seluler untuk mendaftar. Di sinilah harusnya dipersulit," ujarnya. 

Pada kesempatan terpisah, Juru BSSN, Anton Setiawan, mengaku tidak bisa memberi komentar lebih jauh mengenai 'pabrik' akun media sosial palsu tersebut.

Namun yang pasti, Anton menuturkan, kepalsuan dalam bentuk apapun, baik secara riil maupun di dunia maya, tidak akan memberikan manfaat positif bagi masyarakat secara luas.

"Kami mengajak semua unsur agar berkompetisi secara sehat dan turut mendidik masyarakat di media sosial," kata dia kepada VIVA. (dhi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya