BPPT: Sayang, Teknologi Belum Bisa Prediksi Kapan Gempa Terjadi
- VIVA/Misrohatun Hasanah
VIVA – Indonesia yang terletak di Cincin Api Pasifik membuatnya rawan terhadap bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi. Gempa bumi yang terjadi di Lombok mengakibatkan 555 jiwa meninggal dan sebanyak 390.529 orang harus mengungsi.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) Badan Pengkajian Penerapan Teknologi, Hammam Riza mengatakan, teknologi harus berperan signifikan dalam upaya mengurangi risiko bencana gempa bumi. Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemikiran seluruh aspek, dari penanggulangan sampai pemulihan setelah bencana.
"Tidak mudah meramunya di dalam sebuah perencanaan pembangunan, namun kita akan tetap mengupayakan. Lalu sayangnya teknologi inovasi untuk prediksi kapan dan di mana terjadinya gempa, itu belum sampai sana," ujarnya dalam workshop di kantor BPPT, Kamis 27 September 2018.
Bencana alam hidrometeorologi mempunyai persentase besar di Tanah Air, sebanyak 76,3 persen yang telah terjadi, seperti banjir, gelombang ekstrem, pembakaran hutan, dan kekeringan. Sementara itu bencana alam geologis memiliki porsi 24,6 persen, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung, hingga tanah longsor.
"Kesuksesan infrastruktur, fasilitas sarana dan prasarana, bisa memberi gambaran upaya secara keseluruhan bagaimana pembangunan di negeri kita. Upaya tersebut harus bisa digalang melalui sinergi dengan berbagai sektor," ujarnya.
BPPT melalui teknologi ingin melaksanakan kajian lebih lanjut bagaimana kesiapan terhadap gempa bumi, serta studi lebih dalam terhadap tsunami. Mereka sangat mungkin melakukannya dengan alat peraga, hanya saja belum bisa menjawab secara akurat.
Perusahaan konstruksi, Adhi Karya ditugaskan untuk membangun 1.500 rumah sementara di Lombok, dimulai dari awal terjadinya gempa bumi sampai pekan awal Oktober. Mereka juga menganjurkan bangunan rumah sakit di Jakarta untuk melakukan evaluasi mengenai standar persyaratan gempa SNI 2013. (ren)