Kisah Korban Pinjaman Online dan Cara Bijak Manfaatkan Fintech

Ilustrasi bunuh diri.
Sumber :

VIVA – Layanan pinjaman online kembali memakan korban. Sopir taksi berinisial Z ditemukan tewas gantung diri di kamar indekos di Jakarta pada Senin, 13 Februari 2019.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Menurut Kanit Reskrim Polsek Mampang, Iptu Anton Prihartono, yang melakukan olah TKP, di dekat jenazah Z ditemukan surat wasiat. Isinya menyinggung soal rentenir online dan menyebut bahwa dirinya telah terjerat utang.

"Wahai para rentenir online kita bertemu nanti di alam sana," sebaris kalimat di surat yang ditulis ayah tiga anak itu.

Inovasi untuk Menciptakan Produk yang Sesuai Kebutuhan

Sebelumnya, pada Agustus 2018 lalu, seorang wanita (Melati, nama samaran) juga melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak minyak tanah. Ia mengalami masalah serupa dengan Z.

Lantaran kalut tak dapat membayar utang sejumlah Rp20 juta, Melati memutuskan mengakhiri hidup. Apalagi, setiap hari ia ditagih debt collector yang mengejarnya melalui telepon maupun WhatsApp.

Kiat Bijak Memilih Layanan Pinjaman Fintech: Produktif atau Konsumtif?

Ia berpikir, setelah mati akan mendapatkan uang takziah dan bisa digunakan untuk membayar utang-utangnya di 10 aplikasi pinjaman online.

Perusahaan financial technology (fintech), selaku pemberi pinjaman dana berbasis digital, ibarat pedang bermata dua. Kehadirannya bisa dipandang dari dua sisi, yaitu manfaat dan kerugian.

Terlepas dari kisah pilu Z dan Melati yang sampai terjerat utang online, fintech hadir sebagai ekosistem keuangan yang memberi kemudahan memperoleh pendanaan. Misalnya ketika seseorang butuh biaya di saat mendesak; membayar uang sekolah anak, atau perlu uang untuk berobat.

Namun, perlu dipahami oleh masyarakat bahwa pinjam uang di platform fintech memiliki konsekuensi bunga berjalan jika konsumen tidak melunasi tepat waktu.

Konsultan Keuangan, Imelda Tarigan, berpesan agar jangan menggunakan utang online untuk memenuhi hasrat gaya hidup.

"Utang online tidak wajar jika digunakan untuk menunjang gaya hidup. Jangankan utang online, utang yang lainnya juga tidak boleh digunakan untuk kebutuhan konsumtif, hanya untuk percaya diri saja," ujarnya beberapa waktu lalu di Jakarta.

Ditegaskan Imelda, utang online bisa menimbulkan masalah baru jika sampai tak bisa melunasinya. Akan lebih baik apabila utang dimanfaatkan untuk produktifitas pengguna, misalnya bisnis atau sesuatu yang kemudian dapat menghasilkan kembali.

"Kalau berutang itu, pertama kita harus yakin bisa bayar. Kedua, adalah adanya tanggung jawab besar akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar," kata Imelda menambahkan.

Namun yang paling utama Imelda tekankan ialah keyakinan nasabah mengenai kemampuan melunasi kewajibannya itu. Karena saat ini banyak yang kadung terlilit utang.

Pasalnya, banyak juga penyedia pinjaman yang tidak mau tahu mengenai kondisi nasabah yang tak lagi mampu membayar utang. Mereka merasa mendapat pembenaran karena telah ada persetujuan dari nasabah, sehingga menurutnya wajib untuk melunasi utang beserta bunga.

"Awalnya kita mungkin merasa yakin bisa bayar, tapi karena ada satu dan lain hal, jadi gagal bayar. Bisa diselesaikan kalau kedua belah pihak mau menyelesaikannya dengan jalan terbaik," ujarnya. (ann)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya