Orang Berpendidikan Tinggi Cenderung Percaya Hoax, Begini Alasannya

Warga melakukan aksi teatrikal saat mengkampanyekan Gerakan Anti Hoax di Solo, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Literasi dinilai tidak bisa menjadi satu-satunya jalan untuk memberantas hoax. Karena, literasi mengharuskan adanya pengambilan keputusan yang bersifat rasional.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Hal ini diungkapkan oleh pakar ilmu sosial dari Universitas Indonesia, Roby Muhamad di Jakarta, Senin 18 Februari 2019.

"Ilmu psikologi menyebutkan bahwa perilaku manusia jauh dari rasional. Sangat sulit bagi setiap manusia ambil keputusan rasional dalam konteks saat ini. Begitu banyak pilihan, banyak kesibukan, dan beragam tekanan," ungkapnya.

Kabulkan Gugatan Haris Azhar Cs, MK Hapus Pasal Sebar Hoax Bikin Onar

Ia juga mengatakan bahwa saat ini, akar masalah bukan ada di kognisi manusia, tetapi sudah berada pada afektif emosi individu. Artinya, pemberantasan hoax bukan lagi berada di tangan seorang individu semata melainkan harus ada kerja sama dengan pihak lain.

Roby mengatakan, dengan membuat satu kelompok, di mana berisi orang-orang terpercaya, maka bisa menjadi filter agar sebuah informasi yang masuk menjadi positif.

Diduga Sebar Hoax, Pemilik Akun Connie Rakundini Dilaporkan ke Polrestabes Surabaya

Selain itu, ia melanjutkan, bisa juga membangun dari segi institusi atau media yang ada. Roby mengingatkan jika hoax akan selalu ada, namun menjadi berbahaya saat berita bohong menjadi besar dan masif.

"Harus ada kolaborasi antara media sosial, media massa, dan penyedia berita atau pemerintah. Jadi bisa saling bersinergi menyelesaikan masalah hoax ini," ujarnya.

Roby menambahkan bila orang yang cenderung percaya hoax adalah orang berpendidikan tinggi. Hal ini karena ada kecenderungan mereka menjadi sombong dan merasa rasional.

"Semakin tinggi pendidikan, semakin kreatif membuat pembenaran. Ini untuk memperkuat posisi orang itu," papar dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya