Pemilik Akun Alpantuni Gay Muslim Bisa Dikenai UU ITE

Akun Twitter @alpantuni.
Sumber :
  • Twitter

VIVA – Akun Instagram @alpantuni kembali mengunggah postingan baru pada Selasa, 19 Februari 2019. Padahal, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku jika Instagram sudah memblokir akun yang berunsur Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) serta pornografi tersebut.

Investasi di Indonesia, Menperin Ingatkan Apple harus Penuhi Aturan TKDN

Executive Director and Chief of Communication Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi berpandangan, sebagai regulator, Kominfo seharusnya punya kekuatan untuk memblokir atau men-takedown akun bersangkutan. Ia mengaku khawatir akan ada rasa ketidakadilan dari kasus ini.

"Seharusnya, tidak ada blokir sementara karena ini jelas pelanggaran. Bisa ditindaklanjuti dengan hukum lewat Pasal 28 (2) UU ITE. Karena, akun tersebut sudah menyebarkan ujaran kebencian berbasis SARA," kata Heru kepada VIVA, Kamis, 21 Februari 2019.

Akun Instagram Sandra Dewi Mendadak Hilang, Mau Hapus Jejak?

Ia melanjutkan, akun @alpantuni tidak bisa serta-merta beroperasi lagi. Tapi, Heru menyebut masalahnya di sini ada perbedaan informasi. Satu sisi, Kominfo mengklaim jika Instagram telah memblokir akun tersebut, tapi sisi lain, Instagram mengaku tidak melakukannya.

"Harus ada penjelasan. Saya khawatir nanti ada rasa ketidakadilan. Yang satu diproses, yang satu diblokir, tapi yang satunya lagi enggak. Tahun politik seperti sekarang harus adil. Mau kiri atau kanan," ungkap Heru, menegaskan.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Ia melanjutkan, Kominfo tidak bisa jika hanya bergantung kepada pemilik platform. Kominfo juga bisa memerintahkan Instagram, Facebook atau Twitter supaya mendirikan badan usaha tetap di Indonesia bersama dengan data center-nya. "Itu memang kewenangan Kominfo," paparnya.

Dengan cara seperti itu, lanjut Heru, akan memudahkan Kominfo sebagai regulator mengatur platform. Jika terdapat pelanggaran maka mereka bisa langsung bertindak, seperti memblokir. Sebab, nilai budaya dan sosial Indonesia berbeda dengan asal platform tersebut.

"Misalnya, menurut mereka LBGT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) itu biasa. Di kita tidak. Kita memang menghormati minoritas tapi tidak memberi mereka peluang untuk kampanye. It's fine tapi jangan ajak yang lain," jelas Heru. (ann)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya