Marak Perang Tarif dan Jor-joran Subsidi, Bisnis Ojek Online Terancam

Para mitra pengemudi (driver) ojek online saat unjuk rasa di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA Foto/Muhammad Adimaja

VIVA – Industri transportasi online roda dua di Indonesia terancam akibat maraknya perang diskon tarif dan jor-joran subsidi harga, atau istilah lainnya bakar uang. Ini jawaban atas naiknya tarif ojek online oleh pemerintah mulai 1 Mei 2019.

Mantan Bos Gojek Bikin Motor Listrik, Ini Bocoran Wujudnya

Menurut pengamat dari Masyarakat Transporasi Indonesia, Djoko Setijowarno, meski tarif sudah diatur namun apa yang terjadi di lapangan dikhawatirkan masih saja terjadi.

"Tarif memang sudah diatur. Tapi ada gejala di lapangan yang kita khawatirkan seperti perang diskon harga dan promosi tetap terjadi dengan menggunakan segala dalih," kata dia, lewat keterangannya, Kamis, 9 Mei 2019.

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp 100 Juta Ditangkap saat Tidur Pulas

Oleh karena itu, ia meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU untuk mewaspadai gejala perilaku persaingan usaha tidak sehat di bisnis ojek online (ojol).

Menurut Djoko, KPPU bisa mencegah agar dua layanan transportasi online, Grab dan Gojek, tidak menerapkan strategi perang harga atau melakukan kongkalikong harga.

Viral Curhat Penumpang Dipaksa Transfer Uang Rp100 Juta oleh Driver Taksi Online

"Sekali lagi, di sini yang harus berperan adalah KPPU. Peran Kementerian Perhubungan kalau soal tarif enggak bisa banyak. Mereka cuma bisa menentukan. Kalau soal pengawasan atau ada masalah di implementasi tarif yang menjurus ke persaingan usaha tak sehat ranahnya di KPPU," tegasnya.

Secara terpisah, pengamat ekonomi digital Heru Sutadi mengungkapkan saat ini di lapangan masih belum terjadi prinsip yang sustainable di mana tarif yang diterima driver sama dengan tarif yang dibayarkan penumpang.

Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat.

"Aturan saat ini hanya akan memindahkan masalah perang tarif menjadi perang diskon yang tidak sehat," kata Heru, mempertegas. Ia memprediksi keberlangsungan industri ride-hailing roda dua terancam karena pemain terjebak dalam subsidi atau bakar-bakaran uang.

Akhirnya, yang uangnya sedikit akan kalah dan pemenangnya memonopoli. Inilah yang merugikan ekosistem di dalamnya.

Heru menuturkan apabila terjadi monopoli maka satu pemain akan menguasai pasar dan harga. Konsumen pun tidak lagi punya pilihan. Hal ini akan menjadi kemunduran bagi pemerintah dan industri.

"Itu sudah terjadi di Filipina dan Singapura. Tarif jadi sangat mahal, sementara layanan akan memburuk karena tidak adanya alternatif. Intinya, korban ada di konsumen," tutur Heru.

Ia juga mengingatkan, jika konsumen menilai tarif ojol terlalu mahal maka mereka akan kembali ke transportasi pribadi atau konvensional seperti angkot. Meski kurang efisien secara waktu dan layanan, konsumen tidak punya pilihan.

"Ini simalakama. Karena mengancam keberadaan jutaan orang mitra pengemudi atau driver yang saat ini, baik sebagian atau seluruh, penghasilannya berasal dari layanan ojol," tegas Heru.

Ia menambahkan persaingan yang sehat adalah persaingan dalam inovasi, teknologi, dan kreativitas. Bukan dalam subsidi harga paling besar, apalagi dalam bentuk promosi jor-joran yang menguntungkan dalam jangka pendek tapi mematikan dalam jangka panjang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya