Pemerintah Belum Putuskan Roket Peluncur Satelit Satria

Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anang Latif.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bayu Nugraha

VIVA – Satelit Republik Indonesia atau Satria dibangun dengan manufaktur satelit asal Prancis bernama Thales Alenia Space. Pembangunan akan dilakukan pada akhir tahun ini.

Komisi I DPR: KSAD Tarik Pengamanan Pribadi untuk Hillary Lasut

Namun, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Anang Latief, mengaku hingga kini belum ada keputusan soal roket peluncur Satria pada 2022.

"Roket peluncur belum diputuskan apakah menggunakan Prancis atau Amerika Serikat dengan SpaceX-nya. Tentu ini menjadi pertimbangan buat kami," kata dia dalam Rapat Kerja Komisi I DPR dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Gedung DPR Jakarta, Senin, 13 Mei 2019.

DPR Tagih Penjelasan KSAL soal Dugaan Pungli Bebaskan Kapal Asing

Ia juga menjelaskan biaya keseluruhan Satria mencapai Rp20,68 triliun. Salah satunya untuk biaya operasional selama masa konsensi 15 tahun.

Satria menggunakan teknologi High Throughput Satellite. Di sini Anang menjelaskan bukan hanya Indonesia yang menggunakan teknologi tersebut.

Komisi I DPR Minta Seleksi Direksi LPP RRI Ditunda

"Negara yang sudah menggunakannya antara lain Luksemburg dengan Satelit SIS, Kanada dengan Telstar dan Amerika dengan Intelsat," jelasnya.

Satelit Satria akan mengalami masa konstruksi pada 2019 hingga 2022. Rencana peluncuran dilakukan pada 2022 dan resmi beroperasi pada 2023.

Kapasitas Satria mencapai 150 Gbps dan diharapkan akan menjangkau 150 ribu titik layanan publik di wilayah 3T.

Titik tersebut adalah untuk pendidikan (93.900), pemerintah daerah (47.900), administrasi pertahanan dan keamanan (3.900) serta kesehatan (3.700).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya