Lawan Hoax dengan Isu Positif

Warga melakukan aksi teatrikal saat mengkampanyekan Gerakan Anti Hoax di Solo, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Fenomena post-truth ditandai dengan abainya masyarakat terhadap fakta tetapi lebih mementingkan emosi, sehingga rentan termakan informasi palsu atau hoax, terutama di era digital seperti sekarang.

PT BMI Ajukan PK Kasus Sengketa Lahan ke MA, Minta Eksekusi Ditunda

Menurut Kamus Oxford, istilah post-truth diartikan sebagai kondisi di mana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik, melainkan emosi dan keyakinan personal yang akan menentukan.

Sebab, banyak masyarakat lebih percaya terhadap berita viral, tanpa memastikan benar atau salah. Sederhananya, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran.

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang! Harga Limitnya Rp809 Juta

Fenomena ini telah menempatkan masyarakat kepada situasi saling mencurigai. Masyarakat tidak dapat membedakan mana berita atau informasi valid, mana yang hoax.

Padahal hoax merupakan berita bohong dengan memutarbalikkan fakta yang sengaja diproduksi tujuan membangun opini untuk kepentingan pembuatnya.

Nikita Mirzani Ngaku Dapet Kekerasan dari Rizky Irmansyah, Lita Gading: Lapor Jangan Koar-koar

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan serta Pelatihan Hukum Peradilan Mahkamah Agung, Zarof Rical, masyarakat harus diberi informasi yang benar dan berdasarkan fakta.

Karena, penyebaran informasi pada era digitalisasi semakin kompleks.

"Kompleks di sini seperti keterbukaan informasi yang masif, perkembangan masyarakat, mediamorfosis, dan tentunya, era post-truth. Jadi harus ditingkatkan kompetensi SDM hukum, terutama para ketua dan wakil ketua pengadilan tingkat banding (provinsi). Itu mutlak adanya,” kata dia di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.

Zarof juga menyebut bahwa isu positif harus diciptakan untuk melawan hoax agar situasi lingkungan di masyarakat tetap aman dan tertib. Sejak terbukanya kebebasan informasi dan teknologi media, pertumbuhan media massa dan media baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Media komunikasi yang telah bermetamorfosis menjadi media digital ini perkembangannya semakin beragam. Kunci untuk mengatasi post-truth adalah dengan mengasah serta meningkatkan kemampuan literasi dalam memahami gempuran post-truth. Salah satunya melalui pelatihan kehumasan.

Pendiri LSPR Prita Kemal Gani mengungkapkan kompetensi yang didapat dari keilmuwan dan pengalaman dalam berinteraksi dinilai akan semakin mematangkan keterampilan strategis dan taktis dalam menjalankan fungsi sebagai humas, khususnya di lingkungan Mahkamah Agung (MA).

Banyaknya hoax seolah-olah dipersepsi menjadi benar adalah karena rendahnya kemampuan literasi seseorang. Padahal ada banyak cara dapat dilakukan untuk menggali kebenaran.

"Prestasi, kerja keras, dan dedikasi pada profesi sangat layak diapresiasi dan dapat dijadikan contoh bagi profesi humas di kementerian/lembaga lainnya,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya