Tak Usah Pusing 'Injak Kaki' Netflix, Enggak Patuh Langsung Blokir

Founder and CEO Netflix, Reed Hastings.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Lazuardhi Utama

VIVA – Platform streaming video asal Amerika Serikat (AS), Netflix, sedang disorot. Mulai dari soal kemplang pajak hingga adanya konten film yang mengandung unsur pornografi dan kekerasan.

Tertarik Beli Mitsubishi XForce, Segini Bayar Pajak Tahunannya

Bicara kewajiban membayar pajak, menurut anggota Komisi I DPR, Bobby Rizaldi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak perlu repot melakukan studi banding untuk memperlakukan Netflix. Ia mengatakan cukup meniru langkah yang dilakukan Singapura.

"Singapura itu memberlakukan pajak di hilir, atau penggunanya, bukan di hulu alias Netflix. Artinya, tidak apa-apa Netflix tidak punya kantor perwakilan di sini asalkan mereka tetap membayar pajak," kata dia, kala berbincang dengan VIVA dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.

Terpopuler: Daftar Pajak Tahunan Toyota Fortuner, Duel Yamaha Nmax vs Honda PCX Bekas

Bobby melanjutkan, jika menilik kepada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Teransaksi Elektronik (PP PSTE), Netflix harus memiliki BUT (Badan Usaha Tetap). Namun, karena beleid ini tidak ada pidananya maka tidak ada yang bisa memaksa mereka mendirikan BUT di Tanah Air.

Meskipun begitu, ungkap dia, apabila sudah menjadi BUT tidak ada juga yang bisa diharapkan karena Netflix tidak akan menjadi perusahaan yang untung. Karena, mereka merupakan perusahaan masking yang besarnya dari big data.

Heboh! Cerita TKW Asal Madura Harus Bayar Pajak Ratusan Juta Usai Bawa Emas 3 Kg ke Indonesia

Menurut Bobby, perusahaan seperti Netflix ini mencari data-data seperti trafik pengguna sampai kepada perilaku konsumen. Contohnya seperti genre film apa yang disukai masyarakat, atau pada jam-jam berapa saja konsumen Netflix ramai melakukan streaming video.

Lembaga Penyiaran Berbayar

"Uangnya bukan di BUT tapi perusahaan big data. Nanti data-datanya itu dijual ke perusahaan penyedia kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sistem BUT memang bagus tapi kita enggak punya daya paksa," jelas dia.

Terkait adanya konten pornografi dan kekerasan, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Agung Suprio, mengaku sebenarnya Netflix sudah memiliki fitur Parental Control. Tapi, menurutnya, ada hal lain yang membuat KPI agak tersendat bertindak tegas ke perusahaan yang didirikan oleh Reed Hastings itu.

"Dari kami belum membuat Standar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (SP3SPS) untuk layanan seperti Netflix. Karena memang belum ada mandat. Inisiatif dari Netflix ini patut diapresiasi," papar dia.

Agung juga menjelaskan KPI sebenarnya memberi perilaku yang berbeda untuk layanan TV berlangganan dan layanan stasiun TV biasa. Maka, jika Netflix sudah disahkan maka mereka akan memperlakukannya seperti TV berlangganan.

Sebab, layanan TV berbayar ini perlakuannya lebih lunak karena ada masyarakat yang rela membayar demi mendapatkan konten. Pada layanan berbayar, penonton masih bisa menemukan adegan kecupan bibir, tapi tetap meniadakan adegan ketelanjangan atau pornografi.

Indonesia diketahui memiliki payung hukum terhadap konten-konten yang melanggar norma kesusilaan, termasuk pornografi. Mulai dari UU ITE pasal 27 ayat 1 hingga UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Adapun undang-undang berlaku secara menyeluruh, tak terkecuali Netflix.

"Kalau pun ke depannya diamanahkan oleh Komisi I DPR maka bentuk pengawasannya seperti Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB). Jadi lebih soft. Kalau video on demand ada di antara LPB dan internet. Ini justru tidak ketat," ungkap Agung.

Take down jadi daya tawar

Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir (take down) konten-konten yang bermuatan pornografi, SARA, serta melanggar norma kesusilaan yang ada di Netflix.

Ia pun mencontoh Arab Saudi, di mana siaran televisi dari Prancis pun menyesuaikan dengan norma yang berlaku di sana. "Ini yang seharusnya dilakukan Netflix untuk menghormati norma-norma di Indonesia,” tegas dia.

Sudaryatmo kembali mengungkapkan bahwa Kominfo memiliki kewenangan untuk melakukan take down Netflix tanpa harus menunggu laporan dan keluhan dari masyarakat. "Kominfo wajib melakukan monitoring. Kalau itu bertentangan, minimal menegur atau langsung take down Netflix. Take down bisa memperkuat posisi tawar Indonesia," katanya.

Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, mengungkap ketika Netflix ingin beroperasi di Indonesia harus menutup akses terhadap konten-konten pornografi.

Menurutnya, semua platform harus mengikuti payung hukum yang berlaku di Indonesia. "Setidaknya perlu ada komitmen dari platform untuk memblokir konten yang memuat pornografi," tutur dia, mengakhiri pembicaraan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya