-
Tugas ilmuwan di masa pandemi COVID-19 semakin berat, karena harus berhadapan dengan hoax, disinformasi, atau bahkan pernyataan resmi yang tidak berbasis fakta dan data, serta sentimen nasionalisme.
Ilham Akhsanu Ridlo, ilmuwan pemula dari Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur masih berusaha mencerna pernyataan yang pernah disampaikan Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Doni Monardo.
"Target kita adalah pada perayaan 17 Agustus yang akan datang [2021] ... Artinya COVID-19 dalam posisi yang bisa dikendalikan," kata Doni seperti yang disiarkan YouTube Pusdalops BNPB, 14 Februari lalu.
Sebagai ilmuwan, yang menjadi pertanyaan Ilham adalah atas dasar ilmiah apa pernyataan resmi tersebut. "Apa dasar evidence-nya sampai bisa menyebut 17 Agustus itu?" lontarnya saat berbicara dengan ABC Indonesia.
Apalagi, sejumlah ilmuwan mengatakan dalam mengendalikan pandemi COVID-19, Indonesia masih dianggap kurang secara ilmiah dalam jumlah tes, laju vaksinasi yang lambat, dan pasokan vaksin yang masih sedikit.
Mislanya, dengan menggunakan data laju vaksinasi di Indonesia saat ini yakni 60 ribu dosis per hari, Bloomberg dan Johns Hopkins University memperkirakan, Indonesia baru akan bisa memenuhi target menyuntik 70 persen populasi atau 181,5 juta orang setidaknya sepuluh tahun dari sekarang.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menawarkan strategi vaksinasi yang hanya menyuntik 39 persen dari populasi untuk mengendalikan pandemi, tapi itu pun diperkirakan baru bisa terlihat hasilnya paling cepat pada September tahun ini.
Tapi ini bukan untuk pertama kalinya pejabat atau mereka yang punya otoritas mengeluarkan pernyataan tanpa basis data, yang disayangkan oleh Ilham sebagai ilmuwan.
"Yang pertama saya ingat soal nasi kucing, kemudian guyonan soal "oh covid itu nggak akan masuk Indonesia karena perizinannya susah, sehingga kita butuh Omnibus Law". Itu luar biasa itu," katanya.
Menurut Ilham, pernyataan-pernyataan publik dari pihak yang berwenang tanpa dasar ilmiah ini membuat tugas para ilmuwan dalam mengedukasi publik semakin berat.
Belum lagi ilmuwan juga masih harus berhadapan dengan hoax dan informasi yang beredar melalui media sosial atau aplikasi percakapan.
Hoax dan informasi yang salah soal COVID-19 telah diakui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menyebutkan ribuan hoax muncul di berbagai platform jejaring sosial.
Awal bulan lalu, Kominfo mengatakan pihaknya telah mencatat 1.402 hoax mengenai COVID-19 sejak 23 Januari 2020 sampai 1 Februari 2021.
"Yang paling banyak broadcast message di beberapa grup, mulai dari group keluarga sampai grup dosen, yang sumbernya tidak jelas, mencomot informasi dari mana-mana," kata Ilham menanggapi soal hoax.
"Misalnya pembenaran konspiratif, oh [kebijakan pembatasan] ini sebenarnya hanya untuk mengendalikan orang supaya enggak protes ke pemerintah, atau soal hoax vaksinasi dengan metode penanaman chip."
Beberapa kali Ilham mengaku berusaha memerangi informasi yang salah dan hoax yang diperolehnya di beberapa grup.
"Tapi lama-lama kadang ya capek juga, karena bahkan misalnya budaya share dan forward yang sangat cepat itu datang dari orang-orang yang katakanlah lebih senior, atau ya sedih juga karena ini orangtua atau keluarga sendiri" cerita Ilham.
Rodri Tanoto, ilmuwan yang berkecimpung di bidang biostatistik, riset klinis, dan pengobatan darurat jebolan University College London, Inggris sependapat dengan Ilham soal beratnya tanggung jawab ilmuwan.
Apalagi, menurut mantan Project Manager for Young Health Programme Indonesia di Yayasan Plan International Indonesia dan pengajar di Universitas Indonesia ini, tidak ada perubahan cara komunikasi pemerintah walaupun Menteri Kesehatan sudah berganti.
"Komunikasinya [situasi kita] aman, tenang, dan baik-baik saja, sehingga bisa ada pernyataan target 17 Agustus, atau target vaksinasi setahun, yang kita enggak tahu dasarnya apa."