WFH Boleh tapi Jangan Terlalu Santai, Ada Mata-mata

Ilustrasi karyawan diawasi kecerdasan buatan.
Sumber :
  • IT PRO

VIVA – Pandemi COVID-19 adalah masa bekerja dari rumah, atau kerennya work from home (WFH). Banyak orang menyangka, WFH itu sesuatu yang menyenangkan. Pagi hari santai baca koran dulu. Atau bekerja sambil tiduran juga bisa. Bebas!

Indonesia Bakal Jadi Basis Produksi Mobil Listrik Canggih

Tapi, cara seperti ini ternyata banyak tidak disukai oleh atasan, dan dianggap tidak bagus bagi perusahaan. Sebelum adanya pandemi COVID-19, atasan sering mengontrol, apakah karyawannya rajin dan efektif. Sekarang berbeda, karena sekitar 30 persen karyawan di seluruh dunia sedang WFH.

Ada karyawan yang ingin segera kembali bekerja di ruangan besar dengan banyak orang. Tapi banyak juga yang senang bekerja dari rumah. Bagi atasan, penggunaan software atau piranti lunak untuk mengatur pekerjaan dari jarak jauh menjadi semakin penting.

Baru 79 Persen Pemudik yang Kembali Menyebrang dari Sumatera ke Jawa

Nah, sejak pandemi pula permintaan untuk piranti lunak atau software naik lima kali lipat, yang fungsinya dapat mengukur siapa yang paling rajin, siapa yang bicara lama di telepon.

Selain itu, apa yang dikatakan di telepon. Ketikan pada keyboard, dan klik pada mouse juga dicatat. Bahkan, ada atasan yang membuat 'screenshot' dari karyawannya, atau merekam dengan kamera.

Hari Pertama Masuk Usai Cuti Lebaran, Wali Kota Depok Sebut Kehadiran ASN Capai 90 Persen

"Semua ini terkait dengan kecerdasan buatan. Misalnya, mesin belajar menggunakan data-data untuk mempertemukan karyawan dengan kualifikasi yang tepat, atau dengan orang yang mencari calon karyawan dengan kualifikasi itu," kata Pendiri Transparent Business, Silvina Moschini, seperti dikutip dari situs Deutsche Welle, Sabtu, 15 Mei 2021.

Informasi saja, Moschini adalah sosok di balik pembuat piranti lunak untuk perusahaan di seluruh dunia. Ia menjelaskan, kalau bekerja dengan tim dari jarak jauh, ada tiga tantangan. Ketiganya yaitu kepercayaan, keterlibatan, dan pertanggungjawaban.

"Kami mengembangkan alat untuk mengatur tim secara lebih efisien. Kemudian kami sadar, punya kantor tidak menguntungkan jika tim tersebar di beberapa negara. Teknologi ini (software kecerdasan buatan) mengubah cara kerja. Ibaratnya dulu orang menerbangkan pesawat secara buta, sekarang dengan instrumen," jelasnya.

Di Jerman, program-program seperti itu dilarang, karena masalah perlindungan data. Beda halnya di negara lain di mana piranti lunak semacam ini sekarang banyak digunakan. Tapi, seberapa jauh atasan atau perusahaan bisa mengawasi para karyawan?

Sekretaris Jenderal Uni Global Union atau Persatuan Serikat Pekerja Global, Christy Hoffman, mengungkapkan karyawan biasa dimonitor sampai batas tertentu. Dalam hal produktivitas atau laporan harian pekerjaan mereka.

"Tapi masalahnya sebagian sistem pengawasan tidak menghormati hak-hak kebebasan sama sekali. Jadi tergantung bagaimana perusahaan menggunakannya. Juga, apa pekerja punya hak untuk bicara," ungkap dia.

Meski begitu, bagi Hoffman dan serikat pekerja, yang terpenting adalah pekerja harus mengetahui data apa saja yang dikumpulkan perusahaan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya