Biografi Sariamin Ismail yang Tampil di Google Doodle

Google Doodle Sariamin Ismail
Sumber :
  • Google Doodle Sariamin Ismail

VIVA – Google doodle hari ini menampilkan sosok perempuan yang mengenakan pakaian adat berwarna merah muda, Sariamin Ismail, seorang perempuan berpakaian adat Minang yang sedang menulis di bagian huruf O. Pada Sabtu (31/7/2021) adalah hari ulang tahun Sariamin Ismail yang ke-112. 

Terus Menginspirasi Dunia, Buku Biografi Jokowi Berbahasa Spanyol Dirilis di Barcelona

Berikut biografi Sariamin Ismail yang tampil di Google Doodle hari ini

Biografi

Penulis Tere Liye Bagi-bagi Bansos

Sariamin Ismail merupakan perempuan kelahiran di Talu, Pasaman, Sumatra Barat tanggal 31 Juli 1909. Sariamin meninggal dunia saat usianya 86 tahun di Pekanbaru, Riau, 15 Desember 1995. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Sari Uyah dan Lau.

Sariamin diketahui menikah dengan seorang pria bernama Ismail. Pernikahannya dikaruniai dua anak, yaitu Suryahati Ismail dan Tini Hadad. Sama seperti ibunya, Tini juga merupakan seorang aktivis perempuan Indonesia. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), setelah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum dari lembaga yang membela hak-hak para konsumen tersebut.

Tampilkan Kotak Suara, Google Doodle Rayakan Pemilu 2024

Orangtuanya merupakan seorang ambtenaar, sebutan untuk pegawai negeri pada zaman Belanda dahulu, yang membuatnya bisa mengenyam pendidikan sekolah. Ia merupakan perempuan pertama yang menulis untuk Balai Pustaka dan pelopor angkatan Pujangga Baru. Satu diantara novel yang terkenal yaitu berjudul Kalau Tak Untung (1933). Novel tersebut menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rasmani. 

Semasa kecilnya, Sariamin diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Basariah, namun pemberian nama tersebut membuatnya sering sakit. Oleh karena itu, nama Basariah tersebut diganti dengan nama Sari Amin, kedua kata yang terpisah.

Namun, jiwa seninya mendorong untuk menggabungkan kedua kata tersebut menjadi satu kalimat, yaitu Sariamin. Tambahan Ismail merupakan nama dari suaminya. Sariamin menikah pada tahun 1941 dengan Ismail yang pada waktu itu merupakan seorang pokrol atau pembela perkara di landraad. Sariamin dan Ismail bertemu di Landraad sebab ia harus berurusan dengan Polisi Rahasia Belanda (PID) yaitu sebanyak tiga kali.

Perjalanan karier

Sariamin Ismail telah menunjukkan bakat menulis sejak dini. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menulis syair dan puisi. Sariamain menempuh pendidikan di sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School (MNS) di Padang Panjang.

Dari kehidupan asrama yang dijalaninya sewaktu di MNS, ia menulis catatan dalam bentuk sajak di buku kecil yang dinamakan "sahabatku". Di sekolah, Sariamain sering mendapat hadiah dari perlombaan menulis karangan prosa dan puisi yang diikutinya. Bahkan ia tidak lagi diberi hadiah dari perlombaan meskipun mendapatkan juara lantaran sering memenangkan perlombaan tersebut.

Setelah lulus dari MNS, Sariamin mendapat tugas mengajar di Meisjes Vervolg School (MVS) Bengkulu dan bahkan diangkat sebagai kepala sekolah pada 17 Juni 1925. Sejak saat itulah, ia berpindah-pindah domisili mengikuti tugas mengajar. 

Selain mengajar, Sariamin juga menjadi aktivis pergerakan dengan mengikuti kegiatan organisasi. Ia ditunjuk sebagau ketua perkumpulan pemuda Islam Jong Islamieten Bond bagian wanita untuk wilayah Bukittinggi pada 1928-1930.

Setelah pindah ke Padangpanjang, Sariamin mengetuai cabang SKIS dan menulis untuk majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra, majalah yang dikelola oleh perempuan. Selain itu, ia membagi waktunya untuk mengajar di sekolah swasta Diniyah School dan menjadi pengasuh tetap "Mimbar Putri" di Harian Persamaan.

Menjelang akhir tahun 1930-an, Sariamin menjadi wartawan dan penulis yang cukup vokal di majalah perempuan Soeara Kaoem Iboe Soematra. Ia melaknat poligami dan menekankan pentingnya hubungan keluarga inti di Minangkabau lewat Soeara Kaoem Iboe Soematra.

Dalam Harian Persamaan, Sariamin mengkritik ketidakadilan peraturan gaji bagi pegawai wanita, terutama guru wanita. Ia terus menulis untuk menambah penghasilan sehari-hari dan membiayai kegiatan organisasinya dengan menggunakan beberapa nama samaran untuk mencegah kemungkinan ia ditangkap akibat tulisan-tulisannya.

Dari sejumlah nama samaran yang Sariamin pernah digunakan, ia lebih dikenal dengan nama Selasih yang ia gunakan dalam novel pertamanya. Sejumlah nama samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah.

Pada pertengahan tahun 1930-an, Sariamin telah menulis untuk majalah sastra Poedjangga Baroe.
Ia menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung pada tahun 1933, yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Inspirasi penulisan novelnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, merupakan beberapa kejadian nyata dalam hidupnya yaitu tunangannya yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu.

Sariamin kembali menerbitkan novel pada tahun 1937 berjudul Karena Keadaan. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menghabiskan dua tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wilayah Riau.

Sariamin tetap menulis dan mengajar di Riau hingga tahun 1968. Sebelum tahun 1986, ia telah mengeluarkan tiga antologi puisi dan sebuah cerita anak-anak. Ia menulis novel terakhirnya yang berjudul “Kembali ke Pangkuan Ayah” pada tahun 1986. Sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 1995, Sariamin menerbitkan dua antologi puisi lagi dan sebuah film dokumenter tentang kisah kehidupannya.

Karya Sariamin Ismail

Berikut beberapa Karya-karya yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan:
Puisi

  • Kebesaran Hari Raya (Pandji Pustaka. No. 8-9. 1933. Th. 11)
  • Kecewa (Pandji Pustaka. No. 24. 1933. Th. 11)
  • Lapar (Pudjangga Bam. No. 1. 1933. Th. 1)

Prosa
Roman (sudah terbit)

  • Kalau Tak Untung (Balai Pustaka. Jakarta: 1933)
  • Pengaruh Keadaan (Balai Pustaka. Jakarta: 1937)
  • Kembali Ke Pangkuan Ayah (Mutiara Sumber Widya, Jakarta: 1986)
  • Musibah Membawa Bahagia (Depdikbud. Jakarta: 1986)

Roman (belum terbit)

  • "Di Pusara Ibu"
  • "Corak Dunia"
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya