BMKG: Tsunami Megathrust Selat Sunda Bisa Capai Jakarta Dalam 3 Jam

Kapal nelayan melintas di perairan pantai dipasangi rambu peringatan tsunami, Desa Kampung Jawa, Banda Aceh, Aceh, Minggu (22/12/2019). Pemasangan rambu kawasan bencana tsunami di sejumlah lokasi pantai daerah itu merupakan peringatan bagi warga pesisir.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ampelsa

VIVA – Tsunami di Selat Sunda bisa dipicu oleh erupsi gunung api dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust, menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono.

Gunung Semeru Kembali Erupsi, Petugas Pengamatan: Durasi 118 Detik

Berdasarkan catatan sejarah, tsunami akibat erupsi Gunung Krakatau pada 1883 mampu menjangkau Pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter, sedangkan tsunami pada 2018 jauh lebih kecil, sehingga tidak sampai ke Jakarta.

BMKG Temukan Ratusan Titik Panas di Kaltim, Jumlahnya Meningkat dari Sehari Sebelumnya

"Untuk mengetahui apakah tsunami akibat gempa megathrust Selat Sunda bisa mencapai Jakarta, maka diperlukan pemodelan tsunami. Pemodelan tsunami Selat Sunda akibat gempa magnitudo 8,7 yang dilakukan BMKG menujukkan bahwa tsunami dapat sampai ke Pantai Jakarta," katanya, seperti dikutip dari Instagram @daryonobmkg, Senin, 23 Agustus 2021.

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara-Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol-Tanjung Priok.

BMKG: Potensi Hujan Badai Disertai Petir di DKI Jakarta

Pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, jika tsunami terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah. Selain itu, ketinggian tsunami juga bisa bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden).

Pemodelan tsunami memiliki ketidakpastian yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena persamaan pemodelan yang sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan.

"Beda data yang digunakan, maka hasilnya akan berbeda. Bahkan jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda.  Inilah sebabnya mengapa selalu ada perbedaan hasil antara pembuat model tsunami," tutur Daryono.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya